Selasa, 01 Juli 2014

 Bismillah
Alhamdulillah, Allah mempertemukan kita dengan bulan yang penuh berkah, bulan Ramadhan, dan hal menyenangkan dari bulan Ramadhan selain limpahan pahala bagi setiap amalan yang dikerjakan pada tiap detiknya, kemenangan di bulan syawal akan selalu menunggu untuk didatangi.
Tapi tidak manusia jika bisa hidup tanpa masalah, bahkan di bulan yang penuh kegembiraanpun ada kecemasan-kecemasan yang menggelayut di dalam hati.
Bulan syawal, bulan di mana setiap muslim kanbergembira, saling mengunjungi dan bermaaf-maafan. Sangat indah, lalu apa masalahnya yang membuat cemas?
Bersalaman, itu masalahnya. Masalah bersalaman ini sudah banyak di dikaji oleh para ulama, mau sunni, syi’ah, bahkan Hizb al-Tahrir sekalipun.
Bersalaman yang dalam bahasa arabnya adalah mushafahah, yaitu memegang tangan dengan tangan sebagaimana yang ditulis oleh Doktor Hisam al-Din di dalam tulisannya yang berjudul al-Adillat al-Syari’ah ‘ala Tahrim Mushafahat al-Marah al-Ajnabiyah. Selain itu, beliau juga mengutip beberapa pengertian lain yang disebutkan oleh beberapa ahli bahasa, seperti  Al-Jauhari, Al-Fiwami dan Ibn Mandzur dalam Lisan al-Arabnya. Yang pada intinya,  mushafahah atau berjabat tangan adalah membuka dan melebarkan tangan kepada tangan orang lain kemudian memegang atau menjabatnya.
Mengenai hukum berjabat tangan dengan orang-orang yang bukan mahram, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor Hisam al-Din bahwa para ulama sunni yang tergabung dalam mazhab Hanafiyah, Malikiyah, syafi’iyah dan Hanabilah (pengikut imam Ahmad Ibn Hambal) menyatakan haram dengan berbagai dalil baik dari al-Qur’an maupun hadits.
Misalnya Imam al-Nawawi yang berasal dari Mazhab Syafi’iyah berkata : ....bahwasanya suara perempuan tidak termasuk aurat dan dilarang menyentuh kulit perempuan ajnabi (bukan mahram) melainkan karena alasan darurat seperti dalam pengobatan.
Demikian juga ulama kontemporer seperti Nashr al-Din al-Albani yang menggunakan hadits yang di riwayatkan oleh al-Tabrani dan al-Baihaqi, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi saw: “sesugguhnya ditusukkan kepala seseorang di antara kamu dengan jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”.
Demikian pula Wahbah al-Zuhaili yang menggunakan sabda Nabi saw: “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan perempuan”, sebagai dalil. Begitu pula Muhammad ‘Abd al-‘Aziz ‘Amru dan Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi
Adapun Yusuf al-Qardhawi, di dalam bukunya Fatawi Mu’ashirah, pada awal pembahasannya, ia menuliskan bahwa ada dua hal yang tidak diperselisihkan oleh para ulama, yaitu mengenai keharaman bersalaman apabila disertai  dengan  syahwat  dan  taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita, atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya  fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan ini diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju  kerusakan  itu  adalah wajib. Yang kedua yaitu adanya kemurahan  (diperbolehkan)  berjabat  tangan  dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil  yang  belum  mempunyai syahwat  terhadap  laki-laki,  karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Kemudian al-Qardhawi menuliskan bahwa mayoritas ulama yang berasal dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka yang menyatakan berjabat tangan yang tidak disertai dengan syahwat hukumnya haram berdalil dengan alasan menutup pintu fitnah dan kerusakan atau sadd al-dzari’ah dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat bergerak, atau karena takut fitnah bila telah tanpak tanda-tandanya.
Setelah memperhatikan riwayat-riwayat mengenai sikap nabi dan para sahabat yang berkaitan dengan bermushafahah, al-Qardhawi menyimpulkan bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) yang aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapa berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Al-Qardhawi menyebutkan dua hal yang perlu ditekankan: Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah - meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Demikian pula berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab dengan mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Al-Qardhawi mengakhiri tulisannya dengan anjuran yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah - yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Dari tulisan al-Qardhawi, dapat dipahamai bahwa dalam hal ini, ia sangat berhati-hati dalam memutuskan hukum berjabat tangan. Karena dia dan kita semua sama-sama megetahui bahwa berjabatan tangan telah menjadi kebiasaan di antara manusia, demikian pula di dalam masyarakat kita. Berjabat tangan telah menjadi tradisi dan dianggap sebagai sebuah cara menghormati dan memberikan sambutan baik terhadap orang lain.
Tradisi ini telah melekat sekian lama di dalam kehidupan bermasyarakat di dalam umat ini. Bahkan ketika seseorang yang tidak menerima atau menolak jabatan tangan dari orang lain, maka ia akan dianggap tidak mempunyai adab dan etika sopan santun dalam bergaul.
Di sisi lain, kita mengetahui bahwa Islam sendiri adalah agama yang penuh dengan akhlak dan etika yang mulia, yang sangat menjaga kehormatan dan kesucian manusia, baik jasad maupun ruh dan jiwanya. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah sikap yang paling utama dalam hal ini.
Bagi penulis, sesungguhnya  hukum dasar mushafahah dengan orang yang bukan mahram adalah haram. Keharaman ini di maksudkan untuk menutup pintu fitnah dan kerusakan atau sadd al-dzari’ah. Karena jika zina diharamkan oleh Allah, maka hal-hal yang dapat menyebabkan perzinaan terjadi menjadi haram hukumnya. Demikian juga halnya dengan mushafahah. Namun tidak pada semua kasus berjabat tangan dengan orang yang bukan mahram dihukumi haram. karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ada orang-orang tertentu yang dibolehkan bagi kita untuk berjabat tangan dengannya.
Demikian pula jika terjadi hal sebagai mana yang disebutkan oleh al-Qardhawi seperti adanya kunjungan kerabat yang sudah lama tidak bertemu, sehingga ia membolehkan berjabat tangan. Maka dalam hal ini penulis lebih cenderung kepada kehati-hatian, yaitu dengan menggunakan alas tangan atau sebagainya sehingga tidak lansung mengenai kulit tangan.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar