BAB I
PENDAHULUAN
Allah
sebagai pembuat hukum, maha mengetahui apa yang dibutuhkan oleh manusia.
Kemaslahatan manusia adalah tujuan pensyari’atan hukum, hal tersebut telah
menjadi kesepakatan bersama para
ulama.
Dalam pembahasan para ahli ushul, ada tiga macam maslahah, yaitu maslahah
mu’tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah
mu’tabarah adalah kemaslahatan yang diakui keberadaannya dikarenakan
terdapat nash yang jelas mengenai kemaslahatan tersebut. Maslahah mulghah
adalah maslahah yang tertolak dikarenakan berlawanan dengan nash yang
jelas.
Kedua macam maslahah tersebut (maslahah mu’tabarah dan maslahah
mulghah) telah disepakati oleh para ulama ushul mengenai kedudukannya dalam
mengistimbathkan hukum, sedangkan maslahah mursalah adalah maslahah
yang masih diperselisihkan oleh para ulama ushul mengenai kedudukannya sebagai
salah satu dalil dan metode dalam istimbath hukum.
Kemaslahatan yang dii’tibarkan oleh nash baik al-Qur’an maupun hadits
atau maslahah mu’tabarah ini adalah maslahat yang hakiki, yang mengacu
kepada pemeliharaan lima hal yang juga disebut lima pokok kehidupan, yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan atau kehormatan dan harta. Maslahah mu’tabarah
merupakan maslahah yang jelas dikandung oleh hukum yang ditetapkan oleh Allah
bagi manusia. Sehingga dengan demikian, kemaslahatan ini erat kaitannya dengan
tujuan hukum yang ditetapkan oleh Allah tersebut.
Pembahasan mengenai tujuan pensyari’atan hukum didalam kitab-kitab ushul
disebut dengan maqashid al-syari’ah. Lalu bagaimana konsep maqashid
al-syari’ah dalam kaitanya dengan maslahah mu’tabarah, hal tersebut
yang akan dibahas di dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqasih al-Syari’ah
Secara bahasa, maqashid al-Syari’ah terdiri
dari dua kata, yaitu مقاصد dan الشريعة . Maqashid (مقَاصد) adalah bentuk jama’ dari maqshad (مقْصد) yang berasal dari kata qashada(قصد) . Maqsad (مقْصد) berarti qasdu(قصدُ) yaitu maksud atau tujuan. Sedangkan syari’at secara
bahasa berarti jalan menuju sumber (mata) air dengan arti jalan lurus yang harus
diikuti oleh setiap muslim.[1]
Dalam perjalanannya, defenisi syari’at berubah.
Pada awalnya, syari’at adalah nash-nash yang suci atau al-nushus al-muqaddasah, yaitu al-Qur’an dan hadits Nabi saw yang
mutawatir. Pada defenisi ini, syari’ah mencakup masalah aqidah, amaliyah atau perbuatan manusia dan khuluqiyyah atau akhlak. Namun pada
perkembangan selanjutnya, syari’ah hanya mencakup masalah amaliyah, sehingga dengan demikian, aqidah dan akhlak tidak menjadi
materi muatan di dalam syari’ah.[2] Hingga saat ini, syari’ah diidentikkan dengan
hukum Islam. Asafri Jaya Bakri mengutip
pendapat Ali al-Sais mengenai pengertian syari’ah, yaitu hukum-hukum yang
diberikan oleh allah untuk hamba-hambaNya
agar mereka percaya dan mengamalkannya demi kepentingan mereka di dunia dan
akhirat
Dari pengertian maqasid dan syari’ah di atas,
dapat dipahami bahwa maqashid al-syari’ah yaitu tujuan atau maksud
ditetapkannya hukum-hukum Allah. Semetara itu, maqashid al-syari’ah
menurut istilah sebagaimana yang dikutip oleh M. Khaeruddin Hamsin menurut
beberapa ulama yaitu:
1.
Menurut Ibnu ‘Asyur: Maqashid al-Tasyri’ al-‘Am hiya al-ma’ani wa
al-hikam al-malhuzhah li al-syari’ fi jami’ ahwal al-tasyri’ au ma’zhamiha,
bihaitsu la takhtasshu mulahazhatuha bi al-kaun fi nau’in khasshin min ahkam
al-syari’ah. (Maqashid Syari’ah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang
dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah SWT dalam semua atau sebagian besar
syariat-Nya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah atau tujuan
umumnya).
2.
‘Allal al Fasi: Al-murad bi maqashid al-syari’ah: al-ghayah minha wa
al-asrar allati wadha’aha al-Syari’ ‘inda kulli hukmin min ahkamiha. (Maqashid
syari’ah adalah tujuan syariah dan rahasia yang diletakkan oleh Allah SWT
pada setiap hukum-hukum-Nya).
3.
Ahmad Al-Raisuni: Al-ghayat allati wudhi’at al-syari’atu liajli
tahqiqiha li mashlahati al-‘ibad. ( Tujuan-tujuan yang ditentukan oleh
syariah untuk diwujudkan demi kemaslahatan manusia).[3]
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa maqashid al-syari’ah atau maqashid al-tasyri’ adalah tujuan
dari syari’at yang diciptakan oleh Allah demi terwujudnya kemaslahatan bagi
manusia.
B.
Pembagian Maqashid al-Syari’ah
Menurut al-Syatibi, sebagaimana
yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, tujuan pensyari’atan hukum dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu qasd al-Syari‘ dan qasd al-mukallaf.[4]
1.
Qasd al-Syari‘ dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu:
a.
Aspek tujuan asasi yang mendasar atau tujuan pokok
pensyari’atan hukum.
Tujuan mendasar atau
tujuan pokok Allah menysari’atkan hukum yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan ini adalah tujuan yang utama
dalam menyari’atkan hukum dan pemberlakuan hukum oleh Allah yang terdapat dalam
setiap syari’at atau hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.
Mewujudkan kemaslahatan
sebagai tujuan pensyari’atan hukum yang utama dapat dicapai apabila dapat
memelihara lima unsur pokok yang disebut juga ushul al-khamsah atau daruriyat
al-khams, yaitu:
1)
Agama
2)
Jiwa
3)
Akal
4)
Keturunan
5)
Harta
Kelima unsur pokok
tersebut merupakan hal-hal yang asasi bagi manusia. Dengan adanya hukum yang
disyari’atkan oleh Allah yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi manusia
berarti Allah memberikan perlindungan
asasi bagi kehidupan manusia.
b.
Aspek media atau sarana penunjang untuk menggapai
tujuan asasi. Aspek ini mencakup tiga hal, yaitu:
1)
Tujuan Allah dalam mempergunakan uslub dan
‘uruf bahasa yang dapat dipahami oleh manusia.
Dengan demikian, maka
syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh para mukallaf, dikarenakan
Allah memang telah menggunakan bahasa yang digunakan oleh manusia dalam
mensyari’atkan hukum-hukum-Nya.
2)
Tujuan Allah dalam membuat hukum atau syari’at
adalah diperuntukkan kepada para mukallaf, sehingga syari’at sebagai
suatu hukum taklif yang harus dilakukan oleh manusia.
Allah telah menetapkan
hukum yang dapat dipikul oleh para mukallaf, tidak melebihi batas kemampuan
mereka.
3)
Tujuan Allah mensyari’atkan hukum adalah untuk
membawa seluruh mukallaf ke bawah naungan hukum, dengan mensyari’atkan hukum
yang memiliki sifat universal bagi seluruh manusia.
2.
Qasd al-mukallaf atau tujuan mukallaf merupakan
tujuan syari’ kepada subyek hukum (mukallaf). Ada dua hal yang
perlu dipperhatikan berkaitan dengan tujuan-tujuan mukallaf yang
berkaitan dengan perbuatannya, yaitu:
a.
Perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang harus
disertai dengan niat atau maksud yang benar. Karena setiap pekerjaan dinilai
oleh Allah berdasarkan niatnya. Sehingga hanya perbuatan yang disertai dengan
niat yang benar yang diterima oleh Allah.
Niat yang bernar yang
dimaksudkan di sini adalah niat (maksud) dari perbuatan yang akan dilakukan sesuai
dan sejalan dengan tuntunan syari’at. Niat berperan dalam menjadikan ibadah
seorang menjadi sah dan diterima atau tidak sah atau tidak diterima, niat juga
yang menyebabkan sebuah perbuatan menjadi suatu ibadah atau sekedar perbuatan
biasa. Sehingga apabila seseorang melakukan sebuah ibadah atau perintah Allah
SWT namun ia mempunyai maksud atau niat lain dan tidak sesuai dengan tuntunan syari’at
maka perbuatannya dikategorikan batal. \
b.
Qasd mukallaf bukanlah hal yang harus ada di dalam setiap
pekerjaannya, namun hal ini (qasd mukallaf) harus ada di dalam setiap
ibadah. Karena apabila ibadah dikerjakan tanpa dibarengi dengan adanya qasd
mukallaf maka ibadah tersebut tidak dapat disebut sebagai ibadah.[5]
Selain pembagian di atas, maqashid
al-syari’at juga di bagi menurut tingkatan kepentingannya dalam kehidupan
manusia. Dari sisi ini, maqashid al-syari’ah dibagi menjadi tiga
tingkatan. Pembagian ini berkaitan dengan usaha menjaga kelima unsur pokok kehidupan dalam usaha mencapai tujuan pensyari’atan hukum yang
utama yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia.
Ketiga tingkatan tersebut yaitu:
1.
Maqashid al-Daruriyat
Maqashid al-Daruriyat atau tujuan
primer adalah tujuan hukum yang harus ada demi adanya kehidupan manusia, baik
dalam hal agama maupun dalam hal kehidupan di dunia. Maqashid ini dimaksudkan
untuk memelihara kelima unsur pokok kehidupan manusia, yaitu menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan dan menjaga harta.
Apabila tujuan primer ini tidak tercapai maka
akan menimbulkan kerusakan di dalam kehidupan manusia. Tujuan primer ini hanya
tercapai apabila kelima unsur pokok kehidupan tersebut dapat dijaga.[6]
Dalam mewujudkan maqashid al-Daruriyat
ini, ada dua faktor yang harus diperhatikan, yaitu:[7]
a.
Mewujudkan
segala yang menjadi sebab-sebab keberadaan.
b.
Meninggalkan
segala hal yang dapat merusaknya.
Contohnya
seperti ketetapan Allah bagi orang kafir yang menyesatkan orang lain agar
dibunuh. Karena keberadaan orang kafir yang demikian itu dapat menyebabkan
rusaknya agama. Sehingga demi menjaga agama dalam rangka mewujudkan tujuan
syari’ah orang kafir tersebut harus dibunuh.
2.
Maqashid al-Hajiyat
Maqashid al-Hajiyat atau
yang disebut juga dengan tujuan sekunder, yaitu sebagaimana yang disebutkan
olkeh Juhaya S.Praja adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang
terdiri dari berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia. Dan apabila kebutuhan hidup ini
tidak terpenuhi, maka akan berkibat buruk kepada kehidupan manusia[8]. Namun akibat yang
ditimbulkannya tidak sebesar dan seberat akibat yang ditimbulkan karena hilang
atau tidak terpenuhinya maqashid al-dharuriyah.
Sementara itu, Hasbi ash-Shiddieqy
menyebutkan bahwa maqashid al-hajiyat adalah segala yang dihajati
oleh masyarakat untuk menghidari masyaqaah atau kesulitan guna menghilangkan
kepicikan.
Apabila maqashid al-hajiyat
ini tidak dapat diwujudkan maka hal tersebut tidak menyebabkan akibat yang
buruk bagi kehidupa manusia, hanya sekedar menimbulkan kesempitan. Maqashid
ini belaku dalam masalah ibadah, adat atau kebiasaan, muamalah dna jinayah.[9]
3.
Maqashid al-Tahsiniyat
Maqashid al-tahsiniyat atau
tujuan-tujuan tersier adalah mempergunakan segala yang layak dan pantas yang
dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik yang semuanya dicakup oleh bagian makarim al-akhlaq.[10]
Defenisi lain menyebutkan bahwa maqashid
al-tahsiniyat adalah tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan
hidup manusia dengan melaksanakan hal-hal yang baik dan benar menurut syara’
dan adat kebiasaaan dan menghindari
hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Maqashid al-tahsiniyyat ini dicapai
melalui hal-hal yang berbentuk budi pekerti atau akhlak al-karimah. [11]
C.
Al-Ushul
al-Khams
Dari penjelasan di atas,
dapat dipahami bahwa pada dasarnya tujuan Allah menyari’atkan hukum-hukumNya
adalah untuk kemaslahatan manusia dengan menjaga kelima unsur pokok kehidupan.
1.
Hifz al-Din (حفظ
الدين)
Hifz al-din atau menjaga agama
merupakan hal utama yang harus di jaga agar maqashid al-syari’ah dapat
tercapai, meskipun sebagian menetapkan jiwa ditempat pertama sebagaimana yang
ditulis oleh Hasbi ash-Shiddieqy.[12]
Maqashid al-syari’ah dalam menjaga agama
diinduksi dari ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah. Maqashid al-syari’ah
dalam menjaga agama dapat dijumpai dalam al-Qur’an dibeberapa ayat,
diantaranya:
a.
Surat al-Nisa’, ayat 48:
إن الله لا يغفر أن يشرك به
ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ومن يشرك بالله فقد افترى إثما عظيما
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar.[13]
b.
Surat al-Maidah, ayat 3:
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم
الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل
السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس
الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي
ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[14]
c.
Surat Luqman, ayat 13:
وإذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يا
بني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah)
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang
besar".[15]
Ibadah-ibadah yang disyari’atkan oleh Allah bertujuan
untuk memelihara agama. Salah satu contohnya adalah shalat lima waktu. Apabila shalat itu diabaikan maka akan
terancamlah eksistensi Agama. Sehingga apabila ada hal-hal yang dapat
menghalangi manusia dalam melaksanakan shalat, maka hal tersebut wajib
dihilangkan atau dihindari.
Apabila pemeliharaan
agama dihubungkan dengan tiga tigkatan maqashid al-syari’ah di atas,
maka memelihara agama dalam tingkatan daruriyat seperti kewajiban
melaksanakan shalat bagi setiap mukallaf. Sedangkan dalam tingkatan hajiyat,
yaitu seperti rukhsah-rukhsah yang menimbulkan keringanan untuk menghindari musaqah atau kesulitan
dikarenakan sakit atau dalam perjalanan.[16]
Sementara itu dalam
tingkatan tahsiniyat, seperti mengenakan pakaian yang bagus dan indah
dalam melaksanakan shalat.
2.
Hifz al-Nafz (حفظ
النفس)
Hifz al-nafz atau menjaga jiwa adalah
memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar
dari tindakan penganiayaan, baik berupa pembunuhan, maupun pelukaan[17].
Menjaga jiwa terletak pada tingkat yang kedua setelah agama, yang merupakan
tujuan ditetapkannya permasalahan adat dan
hukum jinayah. Di dalam al-Qur’an, perintah memelihara jiwa dapat
dijumpai di beberapa ayat, diantaranya yaitu:
a.
Surat al-Baqarah, ayat 178-179:
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم
القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى فمن عفي له من أخيه
شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان ذلك تخفيف من ربكم ورحمة فمن اعتدى بعد ذلك
فله عذاب أليم
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih.[18]
ولكم في القصاص حياة يا أولي
الألباب لعلكم تتقون
Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
b.
Surat al-Maidah, ayat 32:
من أجل ذلك كتبنا على بني
إسرائيل أنه من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا ومن
أحياها فكأنما أحيا الناس جميعا ولقد جاءتهم رسلنا بالبينات ثم إن كثيرا منهم بعد
ذلك في الأرض لمسرفون
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa:
barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan
dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka
sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka
bumi.[19]
c.
Surat al-An’am, ayat 151:
قل تعالوا أتل ما حرم ربكم عليكم
ألا تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم
وإياهم ولا تقربوا الفواحش ما ظهر منها وما بطن ولا تقتلوا النفس التي حرم الله
إلا بالحق ذلكم وصاكم به لعلكم تعقلون
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada
mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami (nya).[20]
Menjaga jiwa merupakan
salah satu maqashid al-syari’ah dari ketetapan Allah yang berbicara
maslaah muamalah dan jinayah. Menjaga jiwa atau nyawa dalam tingkatan daruriyat
misalnya memenuhi semua hal yang dibutuhkan demi menjaga eksistensi nyawa,
seperti makanan dan keselamatan atau keamanan. Sedangkan dalam tingkatan hajiyat
misalnya memakan makanan yang lezat namun halal.
Sementara itu, menjaga
jiwa dalam tingkatan tahsiniyat contohnya adalah menjaga adab-adab
makan.
3.
Hifz al-‘Aql (حفظ
العقل)
Hifz al-‘aql atau menjaga akal
dimaksudkan agar manusia dapat menggunakan akal layaknya manusia, jauh dari
sifat-sifat buruk hewan karena secara kasar dapat dikatakan bahwa manusia
adalah hewan yang berfikir.
Menjaga akal merupakan
salah satu tujuan dari hukum-hukum Allah dalam bidang muamalah dan jinayah.
Menjaga akal dalam tingkatan daruriyat adalah menjauhi hal-hal yang
dapat menyebbakan hilangnya akal, seperti minum minuman keras. Dalam tingkatan hajiyat
misalnya menambah kemampuan akal dalam berfikir dengan cara menimba ilmu
pengetahuan. Sedangkan pemeliharaan akal dalam tingkatan tahsiniyat
adalah dengan menjaga akal dan fikiran dari hal-hal yang tidak berguna.
Pemeliharaan atau
penjagaan akal ini dapat diketahui melalui beberapa ayat al-Qur’an melalui
kata-kata “لقوم يتفكرون”, “أفلا تعقلون”
dan perintah menjauhi hal-hal yang dapat menyebabkan manusia kehilangan
akalnya. Berikut ini beberapa ayat tersebut:
a.
Surat al-Maidah, ayat 90-91:
يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر
والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.[21]
إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم
العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu).
b.
Surat Hud, ayat 51:
يا قوم لا أسألكم عليه أجرا إن
أجري إلا على الذي فطرني أفلا تعقلون
Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi
seruanku ini, Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku.
Maka tidakkah kamu memikirkan (nya)?"[22]
c.
Surat al-Ra’d, ayat 3-4:
وهو الذي مد الأرض وجعل فيها
رواسي وأنهارا ومن كل الثمرات جعل فيها زوجين اثنين يغشي الليل النهار إن في ذلك
لآيات لقوم يتفكرون
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung
dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.[23]
وفي الأرض قطع متجاورات وجنات من
أعناب وزرع ونخيل صنوان وغير صنوان يسقى بماء واحد ونفضل بعضها على بعض في الأكل
إن في ذلك لآيات لقوم يعقلون
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun
anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak
bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian
tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir.[24]
4.
Hifz al-Nasl
Hifz al-nasl atau menjaga keturunan
dan/atau kehormatan adalah hal pokok keempat yang harus dijaga demi mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia. Menjaga keturunan adalah memelihara kelestarian
jenis makhluk manusia dan membina sikap mental generasi penerus agar terhindar
dari peperangan diantara manusia.[25]
Ketentuan atau syari’at
Allah yang bertujuan untuk memelihara keturunan atau kehormatan adalah syari’at
dalam bidang muamalah, terutama masalah munakahat serta jinayah.
Menjaga keturunan dalam
tingkatan daruriyat contohnya yaitu melakukan pernikahan untuk
menghindari perzinaan. Pernikahan harus atau wajib dilakukan apabila
dikhawatirkan apabila tidak menikah maka akan jatu kepada perbuatan zina.
Pada tingkatan hajiyat,
menjaga keturunan dilakukan dengan menyebutkan jumlah mahar yang diberikan
kepada pengantin perempuan saak akad dilaksanakan. Sedangkan menjaga keturunan
pada tingkatan tahsiniyat adalah dengan melaksanakan khitbah.[26]
Maqashid al-syari’ah yang menuntut manusia
untuk memlihara keturunan atau kehormatannya dapat dipahami dari beberapa ayat
yang berbicara dalam masalah perkawinan. Diantaranya ayat-ayat tersebut yaitu:
a.
Surat al-Baqarah, ayat 221:
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن
ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن
خير من مشرك ولو أعجبكم أولئك يدعون إلى النار والله يدعو إلى الجنة والمغفرة
بإذنه ويبين آياته للناس لعلهم يتذكرون
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.[27]
b.
Surat al-Nisa’, ayat 3:
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما
ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[28]
c.
Surat al-Nisa’, ayat 22:
ولا تنكحوا ما نكح آباؤكم من
النساء إلا ما قد سلف إنه كان فاحشة ومقتا وساء سبيلا
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).[29]
5.
Hifz al-Mall
Hifz al-mall atau menjaga harta
adalah salah satu tujuan pensyari’atan hukum di bidang muamalah dan jinayah.
Menjaga harta adalah memelihara harta dari perbuatan yang dapat merusak
kehalalan harta dan keselamatannya. Menjaga harta merupakan hal yang
ditunjukkan di dalam beberapa ayat, diantaranya yaitu:
a.
Surat al-Baqarah, ayat 275, 277, :
الذين يأكلون الربا لا يقومون
إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا
وأحل الله البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى
الله ومن عاد فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.[30]
إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات
وأقاموا الصلاة وآتوا الزكاة لهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa.[31]
b.
Surat al-Nisa’, ayat 2, ayat 29:
وآتوا اليتامى أموالهم ولا
تتبدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم إنه كان حوبا كبيرا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan)
itu, adalah dosa yang besar.[32]
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا
أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله
كان بكم رحيما
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.[33]
c.
Surat al-Maidah, ayat 38:
والسارق والسارقة فاقطعوا
أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[34]
Contoh menjaga atau
memelihara harta pada maqashid tingkatan daruriyat adalah dengan
mencari harta dengan jalan yang halal. Sedangkan pada tingkatan hajiyat,
seperti melakukan transaksi jual beli dengan cara salam. Menjaga harta pada
tingkatan tahsiniyat dengan menghindari penipuan.[35]
Untuk menjaga kelima hal tersebut, maka hal-hal
yang dapat menjaga keberadaannya juga harus dijaga, demikian juga sebaliknya
kepada hal-hal yang dapat menyebabkan kelima ushul al-khams tersebut
terganggu harus dihindari dan dihilangkan sehingga tidak merusak atau
mengganggu ushul al-khams tersebut.
Pada masa kini,
pemeliharaan ushul al-khams ini terkandung di dalam hak-hak asasi manusia yang
pada hakikatnya juga menjaga kelima pokok kehidupan tersebut. Dengan arti kata,
HAM di sini berfungsi sebagai penghubung antara maqashid al-syari’ah
dengan kenyataan dilapangan kehidupan manusia sehingga maksud atau tujuan
pensyari’atan hukum Allah tidak hanya terbatas pada teori di dalam kita-kitab
ushul tetapi juga dipraktekkan di dalam kehidupan manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa maqashid
al-Syari’ah dalam kaitannya dengan maslahah mu’tabarah terfokus
pada pemeliharaan lima pokok kehidupan manusia yang juga disebut dengan ushul
al-khams, yaitu
a.
Menjaga agama adalah memelihara agama dan keyakinan dari hal-hal yang dapat
merusak kesucian dan kemurniannya.
b.
Menjaga jiwa ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat sebagai
manusia yang merdeka.
c.
Menjaga akal adalah menjaga agar akal terhindar dari kerusakan yang
mengakibatkannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
d.
Menjaga keturunan dan atau kehormatan adalah memelihara kelestarian
kehidupan manusia dan menghindari perpecahan dan peperangan.
e.
Menjaga harta yaitu memelihara kehalalan dan eksistensi harta dari hal-hal
yang dapat merusaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Falsafah
Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1993. Cet. ke-3
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid
Syari’ah Menurut al-Syatibi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996
Djamil, Fathurrahman. Filsafat
Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997. Jilid 1
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum
Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM UI Bandung. 1995
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul
Fiqh. Penerjemah: Saefullah Ma’sum dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000.
Cet. ke-6
http://www.makalahkuliah.com/2012/12/Maqashid-Syariah-Dalam-Penetapan-Hukum-Islam.html
[1] Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 45.
[2] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid
Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 63.
[3]
http://www.makalahkuliah.com/2012/12/Maqashid-Syariah-Dalam-Penetapan-Hukum-Islam.html
[4] T. M. Hasbi
ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
cet. ke-3, h. 180
[5] Ibid., h.
251-253.
[6] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat
Penerbitan Universitas LPPM UI Bandung, 1995), h. 101
[7] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 187.
[9] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 190.
[13] Depag RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (tp: Maghfirah Pustaka, th), h. 86
[14] Ibid., h.
107
[15] Ibid., h. 412
[17] Muhammad Abu
Zahrah, Ushul Fiqh, penerjemah: Saefullah Ma’sum dkk, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), cet. ke-6, h. 549.
[18] Depag RI, op.
cit., h. 27
[19] Ibid., h.
113
[20] Ibid., h.
148
[22] Ibid., h.
227
[23] Ibid.,
h. 249
[24] Ibid.
[25] Muhammad Abu
Zahrah, op. cit., h. 551.
[26] Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jilid
1, h.128 – 130.
[27] Depag RI, op.
cit., h. 35.
[28] Ibid., h.
77
[29] Ibid., h.
81
[30] Ibid., h.
36
[31] Ibid.
[32] Ibid., h.
77
[33] Ibid., h.
83
[34] Ibid., h.
114
[35] Fathurrahman
Djamil, op. cit., h. 131.