Senin, 03 Juni 2013

Teori Maqashid al-Syari'ah

BAB I
PENDAHULUAN




Allah sebagai pembuat hukum, maha mengetahui apa yang dibutuhkan oleh manusia. Kemaslahatan manusia adalah tujuan pensyari’atan hukum, hal tersebut telah menjadi kesepakatan bersama para ulama. Dalam pembahasan para ahli ushul, ada tiga macam maslahah, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu’tabarah adalah kemaslahatan yang diakui keberadaannya dikarenakan terdapat nash yang jelas mengenai kemaslahatan tersebut. Maslahah mulghah adalah maslahah yang tertolak dikarenakan berlawanan dengan nash yang jelas.
Kedua macam maslahah tersebut (maslahah mu’tabarah dan maslahah mulghah) telah disepakati oleh para ulama ushul mengenai kedudukannya dalam mengistimbathkan hukum, sedangkan maslahah mursalah adalah maslahah yang masih diperselisihkan oleh para ulama ushul mengenai kedudukannya sebagai salah satu dalil dan metode dalam istimbath hukum.
Kemaslahatan yang dii’tibarkan oleh nash baik al-Qur’an maupun hadits atau maslahah mu’tabarah ini adalah maslahat yang hakiki, yang mengacu kepada pemeliharaan lima hal yang juga disebut lima pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan atau kehormatan dan harta. Maslahah mu’tabarah merupakan maslahah yang jelas dikandung oleh hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi manusia. Sehingga dengan demikian, kemaslahatan ini erat kaitannya dengan tujuan hukum yang ditetapkan oleh Allah tersebut.
Pembahasan mengenai tujuan pensyari’atan hukum didalam kitab-kitab ushul disebut dengan maqashid al-syari’ah. Lalu bagaimana konsep maqashid al-syari’ah dalam kaitanya dengan maslahah mu’tabarah, hal tersebut yang akan dibahas di dalam makalah ini.



BAB II
PEMBAHASAN




A.       Pengertian Maqasih al-Syari’ah
Secara bahasa, maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu مقاصد dan الشريعة  . Maqashid (مقَاصد) adalah bentuk jama’ dari  maqshad  (مقْصد) yang berasal dari kata qashada(قصد) . Maqsad (مقْصد) berarti qasdu(قصدُ)  yaitu maksud atau tujuan. Sedangkan syari’at secara bahasa berarti jalan menuju sumber (mata) air dengan arti jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim.[1]
Dalam perjalanannya, defenisi syari’at berubah. Pada awalnya, syari’at adalah nash-nash yang suci atau al-nushus al-muqaddasah, yaitu al-Qur’an dan hadits Nabi saw yang mutawatir. Pada defenisi ini, syari’ah mencakup masalah aqidah, amaliyah atau perbuatan manusia dan khuluqiyyah atau akhlak. Namun pada perkembangan selanjutnya, syari’ah hanya mencakup masalah amaliyah, sehingga dengan demikian, aqidah dan akhlak tidak menjadi materi muatan di dalam syari’ah.[2] Hingga saat ini, syari’ah diidentikkan dengan hukum  Islam. Asafri Jaya Bakri mengutip pendapat Ali al-Sais mengenai pengertian syari’ah, yaitu hukum-hukum yang diberikan oleh allah  untuk hamba-hambaNya agar mereka percaya dan mengamalkannya demi kepentingan mereka di dunia dan akhirat
Dari pengertian maqasid dan syari’ah di atas, dapat dipahami bahwa maqashid al-syari’ah yaitu tujuan atau maksud ditetapkannya hukum-hukum Allah. Semetara itu, maqashid al-syari’ah menurut istilah sebagaimana yang dikutip oleh M. Khaeruddin Hamsin menurut beberapa ulama yaitu:
1.        Menurut Ibnu ‘Asyur: Maqashid al-Tasyri’ al-‘Am hiya al-ma’ani wa al-hikam al-malhuzhah li al-syari’ fi jami’ ahwal al-tasyri’ au ma’zhamiha, bihaitsu la takhtasshu mulahazhatuha bi al-kaun fi nau’in khasshin min ahkam al-syari’ah. (Maqashid Syari’ah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah SWT dalam semua atau sebagian besar syariat-Nya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah atau tujuan umumnya).
2.        ‘Allal al Fasi: Al-murad bi maqashid al-syari’ah: al-ghayah minha wa al-asrar allati wadha’aha al-Syari’ ‘inda kulli hukmin min ahkamiha. (Maqashid syari’ah adalah tujuan syariah dan rahasia yang diletakkan oleh Allah SWT pada setiap hukum-hukum-Nya).
3.        Ahmad Al-Raisuni: Al-ghayat allati wudhi’at al-syari’atu liajli tahqiqiha li mashlahati al-‘ibad. ( Tujuan-tujuan yang ditentukan oleh syariah untuk diwujudkan demi kemaslahatan manusia).[3]
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa maqashid al-syari’ah atau maqashid al-tasyri’ adalah tujuan dari syari’at yang diciptakan oleh Allah demi terwujudnya kemaslahatan bagi manusia.

B.       Pembagian Maqashid al-Syari’ah
Menurut al-Syatibi, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, tujuan pensyari’atan hukum dapat dilihat dari dua sisi, yaitu qasd al-Syari‘ dan qasd al-mukallaf.[4]
1.        Qasd al-Syari‘ dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu:
a.         Aspek tujuan asasi yang mendasar atau tujuan pokok pensyari’atan hukum.
Tujuan mendasar atau tujuan pokok Allah menysari’atkan hukum yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan ini adalah tujuan yang utama dalam menyari’atkan hukum dan pemberlakuan hukum oleh Allah yang terdapat dalam setiap syari’at atau hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.
Mewujudkan kemaslahatan sebagai tujuan pensyari’atan hukum yang utama dapat dicapai apabila dapat memelihara lima unsur pokok yang disebut juga ushul al-khamsah atau daruriyat al-khams, yaitu:
1)        Agama
2)        Jiwa
3)        Akal
4)        Keturunan
5)        Harta
Kelima unsur pokok tersebut merupakan hal-hal yang asasi bagi manusia. Dengan adanya hukum yang disyari’atkan oleh Allah yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi manusia berarti  Allah memberikan perlindungan asasi bagi kehidupan manusia.
b.        Aspek media atau sarana penunjang untuk menggapai tujuan asasi. Aspek ini mencakup tiga hal, yaitu:
1)        Tujuan Allah dalam mempergunakan uslub dan ‘uruf bahasa yang dapat dipahami oleh manusia.
Dengan demikian, maka syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh para mukallaf, dikarenakan Allah memang telah menggunakan bahasa yang digunakan oleh manusia dalam mensyari’atkan hukum-hukum-Nya.
2)        Tujuan Allah dalam membuat hukum atau syari’at adalah diperuntukkan kepada para mukallaf, sehingga syari’at sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan oleh manusia.
Allah telah menetapkan hukum yang dapat dipikul oleh para mukallaf, tidak melebihi batas kemampuan mereka.
3)        Tujuan Allah mensyari’atkan hukum adalah untuk membawa seluruh mukallaf ke bawah naungan hukum, dengan mensyari’atkan hukum yang memiliki sifat universal bagi seluruh manusia.
2.        Qasd al-mukallaf atau tujuan mukallaf merupakan tujuan syari’ kepada subyek hukum (mukallaf). Ada dua hal yang perlu dipperhatikan berkaitan dengan tujuan-tujuan mukallaf yang berkaitan dengan perbuatannya, yaitu:
a.         Perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang harus disertai dengan niat atau maksud yang benar. Karena setiap pekerjaan dinilai oleh Allah berdasarkan niatnya. Sehingga hanya perbuatan yang disertai dengan niat yang benar yang diterima oleh Allah.
Niat yang bernar yang dimaksudkan di sini adalah niat (maksud) dari perbuatan yang akan dilakukan sesuai dan sejalan dengan tuntunan syari’at. Niat berperan dalam menjadikan ibadah seorang menjadi sah dan diterima atau tidak sah atau tidak diterima, niat juga yang menyebabkan sebuah perbuatan menjadi suatu ibadah atau sekedar perbuatan biasa. Sehingga apabila seseorang melakukan sebuah ibadah atau perintah Allah SWT namun ia mempunyai maksud atau niat lain dan tidak sesuai dengan tuntunan syari’at maka perbuatannya dikategorikan batal. \
b.        Qasd mukallaf bukanlah hal yang harus ada di dalam setiap pekerjaannya, namun hal ini (qasd mukallaf) harus ada di dalam setiap ibadah. Karena apabila ibadah dikerjakan tanpa dibarengi dengan adanya qasd mukallaf maka ibadah tersebut tidak dapat disebut sebagai ibadah.[5]
Selain pembagian di atas, maqashid al-syari’at juga di bagi menurut tingkatan kepentingannya dalam kehidupan manusia. Dari sisi ini, maqashid al-syari’ah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pembagian ini berkaitan dengan usaha menjaga kelima unsur pokok kehidupan dalam usaha mencapai tujuan pensyari’atan hukum yang utama yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Ketiga tingkatan tersebut yaitu:
1.        Maqashid al-Daruriyat
Maqashid al-Daruriyat atau tujuan primer adalah tujuan hukum yang harus ada demi adanya kehidupan manusia, baik dalam hal agama maupun dalam hal kehidupan di dunia. Maqashid ini dimaksudkan untuk memelihara kelima unsur pokok kehidupan manusia, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan menjaga harta.
Apabila tujuan primer ini tidak tercapai maka akan menimbulkan kerusakan di dalam kehidupan manusia. Tujuan primer ini hanya tercapai apabila kelima unsur pokok kehidupan tersebut dapat dijaga.[6]
Dalam mewujudkan maqashid al-Daruriyat ini, ada dua faktor yang harus diperhatikan, yaitu:[7]
a.         Mewujudkan segala yang menjadi sebab-sebab keberadaan.
b.        Meninggalkan segala hal yang dapat merusaknya.
Contohnya seperti ketetapan Allah bagi orang kafir yang menyesatkan orang lain agar dibunuh. Karena keberadaan orang kafir yang demikian itu dapat menyebabkan rusaknya agama. Sehingga demi menjaga agama dalam rangka mewujudkan tujuan syari’ah orang kafir tersebut harus dibunuh.
2.        Maqashid al-Hajiyat
Maqashid al-Hajiyat atau yang disebut juga dengan tujuan sekunder, yaitu sebagaimana yang disebutkan olkeh Juhaya S.Praja adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri dari berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia. Dan apabila kebutuhan hidup ini tidak terpenuhi, maka akan berkibat buruk kepada kehidupan manusia[8]. Namun akibat yang ditimbulkannya tidak sebesar dan seberat akibat yang ditimbulkan karena hilang atau tidak terpenuhinya maqashid al-dharuriyah.
Sementara itu, Hasbi ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa maqashid al-hajiyat adalah segala yang dihajati oleh masyarakat untuk menghidari masyaqaah atau kesulitan guna menghilangkan kepicikan.
Apabila maqashid al-hajiyat ini tidak dapat diwujudkan maka hal tersebut tidak menyebabkan akibat yang buruk bagi kehidupa manusia, hanya sekedar menimbulkan kesempitan. Maqashid ini belaku dalam masalah ibadah, adat atau kebiasaan, muamalah dna jinayah.[9]
3.        Maqashid al-Tahsiniyat
Maqashid al-tahsiniyat atau tujuan-tujuan tersier adalah mempergunakan segala yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik yang semuanya dicakup oleh bagian makarim al-akhlaq.[10]
Defenisi lain menyebutkan bahwa maqashid al-tahsiniyat adalah tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan melaksanakan hal-hal yang baik dan benar menurut syara’ dan adat  kebiasaaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Maqashid al-tahsiniyyat ini dicapai melalui hal-hal yang berbentuk budi pekerti atau akhlak al-karimah. [11]

C.       Al-Ushul al-Khams
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya tujuan Allah menyari’atkan hukum-hukumNya adalah untuk kemaslahatan manusia dengan menjaga kelima unsur pokok kehidupan.
1.        Hifz al-Din (حفظ الدين)
Hifz al-din atau menjaga agama merupakan hal utama yang harus di jaga agar maqashid al-syari’ah dapat tercapai, meskipun sebagian menetapkan jiwa ditempat pertama sebagaimana yang ditulis oleh Hasbi ash-Shiddieqy.[12]
Maqashid al-syari’ah dalam menjaga agama diinduksi dari ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah. Maqashid al-syari’ah dalam menjaga agama dapat dijumpai dalam al-Qur’an dibeberapa ayat, diantaranya:
a.         Surat al-Nisa’, ayat 48:
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ومن يشرك بالله فقد افترى إثما عظيما
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.[13]

b.        Surat al-Maidah, ayat 3:
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[14]

c.         Surat Luqman, ayat 13:
وإذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يا بني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar".[15]

Ibadah-ibadah yang disyari’atkan oleh Allah bertujuan untuk memelihara agama. Salah satu contohnya adalah shalat lima waktu. Apabila shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama. Sehingga apabila ada hal-hal yang dapat menghalangi manusia dalam melaksanakan shalat, maka hal tersebut wajib dihilangkan atau dihindari.
Apabila pemeliharaan agama dihubungkan dengan tiga tigkatan maqashid al-syari’ah di atas, maka memelihara agama dalam tingkatan daruriyat seperti kewajiban melaksanakan shalat bagi setiap mukallaf. Sedangkan dalam tingkatan hajiyat, yaitu seperti rukhsah-rukhsah yang menimbulkan keringanan  untuk menghindari musaqah atau kesulitan dikarenakan sakit atau dalam perjalanan.[16]
Sementara itu dalam tingkatan tahsiniyat, seperti mengenakan pakaian yang bagus dan indah dalam melaksanakan shalat.
2.        Hifz al-Nafz (حفظ النفس)
Hifz al-nafz atau menjaga jiwa adalah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan, baik berupa pembunuhan, maupun pelukaan[17]. Menjaga jiwa terletak pada tingkat yang kedua setelah agama, yang merupakan tujuan ditetapkannya permasalahan adat dan  hukum jinayah. Di dalam al-Qur’an, perintah memelihara jiwa dapat dijumpai di beberapa ayat, diantaranya yaitu:
a.         Surat al-Baqarah, ayat 178-179:
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان ذلك تخفيف من ربكم ورحمة فمن اعتدى بعد ذلك فله عذاب أليم
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.[18]

ولكم في القصاص حياة يا أولي الألباب لعلكم تتقون
Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
b.        Surat al-Maidah, ayat 32:
من أجل ذلك كتبنا على بني إسرائيل أنه من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا ومن أحياها فكأنما أحيا الناس جميعا ولقد جاءتهم رسلنا بالبينات ثم إن كثيرا منهم بعد ذلك في الأرض لمسرفون
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.[19]
c.         Surat al-An’am, ayat 151:
قل تعالوا أتل ما حرم ربكم عليكم ألا تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم وإياهم ولا تقربوا الفواحش ما ظهر منها وما بطن ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق ذلكم وصاكم به لعلكم تعقلون
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).[20]

Menjaga jiwa merupakan salah satu maqashid al-syari’ah dari ketetapan Allah yang berbicara maslaah muamalah dan jinayah. Menjaga jiwa atau nyawa dalam tingkatan daruriyat misalnya memenuhi semua hal yang dibutuhkan demi menjaga eksistensi nyawa, seperti makanan dan keselamatan atau keamanan. Sedangkan dalam tingkatan hajiyat misalnya memakan makanan yang lezat namun halal.
Sementara itu, menjaga jiwa dalam tingkatan tahsiniyat contohnya adalah menjaga adab-adab makan.
3.        Hifz al-‘Aql (حفظ العقل)
Hifz al-‘aql atau menjaga akal dimaksudkan agar manusia dapat menggunakan akal layaknya manusia, jauh dari sifat-sifat buruk hewan karena secara kasar dapat dikatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir.
Menjaga akal merupakan salah satu tujuan dari hukum-hukum Allah dalam bidang muamalah dan jinayah. Menjaga akal dalam tingkatan daruriyat adalah menjauhi hal-hal yang dapat menyebbakan hilangnya akal, seperti minum minuman keras. Dalam tingkatan hajiyat misalnya menambah kemampuan akal dalam berfikir dengan cara menimba ilmu pengetahuan. Sedangkan pemeliharaan akal dalam tingkatan tahsiniyat adalah dengan menjaga akal dan fikiran dari hal-hal yang tidak berguna.
Pemeliharaan atau penjagaan akal ini dapat diketahui melalui beberapa ayat al-Qur’an melalui kata-kata “لقوم يتفكرون”, “أفلا تعقلون” dan perintah menjauhi hal-hal yang dapat menyebabkan manusia kehilangan akalnya. Berikut ini beberapa ayat tersebut:
a.         Surat al-Maidah, ayat 90-91:
يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.[21]

إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

b.        Surat Hud, ayat 51:
يا قوم لا أسألكم عليه أجرا إن أجري إلا على الذي فطرني أفلا تعقلون
Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini, Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan (nya)?"[22]
c.         Surat al-Ra’d, ayat 3-4:
وهو الذي مد الأرض وجعل فيها رواسي وأنهارا ومن كل الثمرات جعل فيها زوجين اثنين يغشي الليل النهار إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.[23]

وفي الأرض قطع متجاورات وجنات من أعناب وزرع ونخيل صنوان وغير صنوان يسقى بماء واحد ونفضل بعضها على بعض في الأكل إن في ذلك لآيات لقوم يعقلون
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.[24]

4.        Hifz al-Nasl
Hifz al-nasl atau menjaga keturunan dan/atau kehormatan adalah hal pokok keempat yang harus dijaga demi mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Menjaga keturunan adalah memelihara kelestarian jenis makhluk manusia dan membina sikap mental generasi penerus agar terhindar dari peperangan diantara manusia.[25]
Ketentuan atau syari’at Allah yang bertujuan untuk memelihara keturunan atau kehormatan adalah syari’at dalam bidang muamalah, terutama masalah munakahat serta  jinayah.
Menjaga keturunan dalam tingkatan daruriyat contohnya yaitu melakukan pernikahan untuk menghindari perzinaan. Pernikahan harus atau wajib dilakukan apabila dikhawatirkan apabila tidak menikah maka akan jatu kepada perbuatan zina.
Pada tingkatan hajiyat, menjaga keturunan dilakukan dengan menyebutkan jumlah mahar yang diberikan kepada pengantin perempuan saak akad dilaksanakan. Sedangkan menjaga keturunan pada tingkatan tahsiniyat adalah dengan melaksanakan khitbah.[26]
Maqashid al-syari’ah yang menuntut manusia untuk memlihara keturunan atau kehormatannya dapat dipahami dari beberapa ayat yang berbicara dalam masalah perkawinan. Diantaranya ayat-ayat tersebut yaitu:
a.         Surat al-Baqarah, ayat 221:
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم أولئك يدعون إلى النار والله يدعو إلى الجنة والمغفرة بإذنه ويبين آياته للناس لعلهم يتذكرون
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.[27]

b.        Surat al-Nisa’, ayat 3:
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[28]

c.         Surat al-Nisa’, ayat 22:
ولا تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إلا ما قد سلف إنه كان فاحشة ومقتا وساء سبيلا
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).[29]
5.        Hifz al-Mall
Hifz al-mall atau menjaga harta adalah salah satu tujuan pensyari’atan hukum di bidang muamalah dan jinayah. Menjaga harta adalah memelihara harta dari perbuatan yang dapat merusak kehalalan harta dan keselamatannya. Menjaga harta merupakan hal yang ditunjukkan di dalam beberapa ayat, diantaranya yaitu:
a.         Surat al-Baqarah, ayat 275, 277, :
الذين يأكلون الربا لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا وأحل الله البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى الله ومن عاد فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.[30]
إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات وأقاموا الصلاة وآتوا الزكاة لهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.[31]
b.        Surat al-Nisa’, ayat 2, ayat 29:
وآتوا اليتامى أموالهم ولا تتبدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم إنه كان حوبا كبيرا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.[32]

يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.[33]

c.         Surat al-Maidah, ayat 38:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[34]

Contoh menjaga atau memelihara harta pada maqashid tingkatan daruriyat adalah dengan mencari harta dengan jalan yang halal. Sedangkan pada tingkatan hajiyat, seperti melakukan transaksi jual beli dengan cara salam. Menjaga harta pada tingkatan tahsiniyat dengan menghindari penipuan.[35]
Untuk menjaga kelima hal tersebut, maka hal-hal yang dapat menjaga keberadaannya juga harus dijaga, demikian juga sebaliknya kepada hal-hal yang dapat menyebabkan kelima ushul al-khams tersebut terganggu harus dihindari dan dihilangkan sehingga tidak merusak atau mengganggu ushul al-khams tersebut.
Pada masa kini, pemeliharaan ushul al-khams ini terkandung di dalam hak-hak asasi manusia yang pada hakikatnya juga menjaga kelima pokok kehidupan tersebut. Dengan arti kata, HAM di sini berfungsi sebagai penghubung antara maqashid al-syari’ah dengan kenyataan dilapangan kehidupan manusia sehingga maksud atau tujuan pensyari’atan hukum Allah tidak hanya terbatas pada teori di dalam kita-kitab ushul tetapi juga dipraktekkan di dalam kehidupan manusia.























BAB III
PENUTUP




Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa maqashid al-Syari’ah dalam kaitannya dengan maslahah mu’tabarah terfokus pada pemeliharaan lima pokok kehidupan manusia yang juga disebut dengan ushul al-khams, yaitu
a.         Menjaga agama adalah memelihara agama dan keyakinan dari hal-hal yang dapat merusak kesucian dan kemurniannya.
b.        Menjaga jiwa ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat sebagai manusia yang merdeka.
c.         Menjaga akal adalah menjaga agar akal terhindar dari kerusakan yang mengakibatkannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
d.        Menjaga keturunan dan atau kehormatan adalah memelihara kelestarian kehidupan manusia dan menghindari perpecahan dan peperangan.
e.         Menjaga harta yaitu memelihara kehalalan dan eksistensi harta dari hal-hal yang dapat merusaknya.
















DAFTAR PUSTAKA




Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007

Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1993. Cet. ke-3

Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.  Jilid 1

Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM UI Bandung. 1995

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Penerjemah: Saefullah Ma’sum dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000. Cet. ke-6

http://www.makalahkuliah.com/2012/12/Maqashid-Syariah-Dalam-Penetapan-Hukum-Islam.html




[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 45.

[2] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 63.
[3] http://www.makalahkuliah.com/2012/12/Maqashid-Syariah-Dalam-Penetapan-Hukum-Islam.html

[4] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. ke-3,  h. 180
[5] Ibid., h. 251-253.

[6] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM UI Bandung, 1995), h. 101

[7] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 187.
[8] Juhaya S. Praja, op. cit., h. 102

[9] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 190.

[10] Ibid., h. 191.

[11] Juhaya S. Praja, op. cit., h. 102

[12] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 188

[13] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (tp: Maghfirah Pustaka, th), h. 86

[14] Ibid., h. 107

[15] Ibid., h.  412

[16] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 190

[17] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, penerjemah: Saefullah Ma’sum dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. ke-6, h. 549.

[18] Depag RI, op. cit., h. 27

[19] Ibid., h. 113
[20] Ibid., h. 148
[21]Ibid., h.  123

[22] Ibid., h. 227

[23] Ibid., h. 249

[24] Ibid.

[25] Muhammad Abu Zahrah, op. cit., h. 551.

[26] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jilid 1,  h.128 – 130.
[27] Depag RI, op. cit., h. 35.

[28] Ibid., h. 77

[29] Ibid., h. 81
[30] Ibid., h. 36

[31] Ibid.

[32] Ibid., h. 77

[33] Ibid., h. 83

[34] Ibid., h. 114

[35] Fathurrahman Djamil, op. cit.,  h. 131.