Bismillah
Alhamdulillah, Allah
mempertemukan kita dengan bulan yang penuh berkah, bulan Ramadhan, dan hal
menyenangkan dari bulan Ramadhan selain limpahan pahala bagi setiap amalan yang
dikerjakan pada tiap detiknya, kemenangan di bulan syawal akan selalu menunggu
untuk didatangi.
Tapi tidak manusia jika bisa
hidup tanpa masalah, bahkan di bulan yang penuh kegembiraanpun ada
kecemasan-kecemasan yang menggelayut di dalam hati.
Bulan syawal, bulan di mana
setiap muslim kanbergembira, saling mengunjungi dan bermaaf-maafan. Sangat
indah, lalu apa masalahnya yang membuat cemas?
Bersalaman, itu masalahnya.
Masalah bersalaman ini sudah banyak di dikaji oleh para ulama, mau sunni,
syi’ah, bahkan Hizb al-Tahrir sekalipun.
Bersalaman yang dalam bahasa
arabnya adalah mushafahah, yaitu memegang tangan dengan tangan
sebagaimana yang ditulis oleh Doktor Hisam al-Din di dalam tulisannya yang
berjudul al-Adillat al-Syari’ah ‘ala Tahrim Mushafahat al-Marah
al-Ajnabiyah. Selain itu, beliau juga mengutip beberapa pengertian lain
yang disebutkan oleh beberapa ahli bahasa, seperti Al-Jauhari, Al-Fiwami dan Ibn Mandzur dalam Lisan
al-Arabnya. Yang pada intinya, mushafahah
atau berjabat tangan adalah membuka dan melebarkan tangan kepada tangan
orang lain kemudian memegang atau menjabatnya.
Mengenai hukum berjabat
tangan dengan orang-orang yang bukan mahram, sebagaimana yang ditulis oleh
Doktor Hisam al-Din bahwa para ulama sunni yang tergabung dalam mazhab
Hanafiyah, Malikiyah, syafi’iyah dan Hanabilah (pengikut imam Ahmad Ibn Hambal)
menyatakan haram dengan berbagai dalil baik dari al-Qur’an maupun hadits.
Misalnya Imam al-Nawawi yang
berasal dari Mazhab Syafi’iyah berkata : ....bahwasanya suara perempuan tidak
termasuk aurat dan dilarang menyentuh kulit perempuan ajnabi (bukan mahram)
melainkan karena alasan darurat seperti dalam pengobatan.
Demikian juga ulama
kontemporer seperti Nashr al-Din al-Albani yang menggunakan hadits yang di
riwayatkan oleh al-Tabrani dan al-Baihaqi, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi
saw: “sesugguhnya ditusukkan kepala seseorang di antara kamu dengan jarum besi,
itu lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”.
Demikian pula Wahbah
al-Zuhaili yang menggunakan sabda Nabi saw: “sesungguhnya aku tidak berjabat
tangan dengan perempuan”, sebagai dalil. Begitu pula Muhammad ‘Abd al-‘Aziz
‘Amru dan Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi
Adapun Yusuf al-Qardhawi, di
dalam bukunya Fatawi Mu’ashirah, pada awal pembahasannya, ia menuliskan
bahwa ada dua hal yang tidak diperselisihkan oleh para ulama, yaitu mengenai
keharaman bersalaman apabila disertai
dengan syahwat dan taladzdzudz
(berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita, atau dibelakang
itu dikhawatirkan terjadinya fitnah,
menurut dugaan yang kuat. Ketetapan ini diambil berdasarkan pada hipotesis
bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu
adalah wajib. Yang kedua yaitu adanya kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan
dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki,
demikian pula dengan anak-anak kecil
yang belum mempunyai syahwat terhadap
laki-laki, karena berjabat tangan
dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki
sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Kemudian al-Qardhawi
menuliskan bahwa mayoritas ulama yang berasal dari kalangan sahabat, tabi’in
dan orang-orang sesudah mereka yang menyatakan berjabat tangan yang tidak
disertai dengan syahwat hukumnya haram berdalil dengan alasan menutup pintu
fitnah dan kerusakan atau sadd al-dzari’ah dan alasan ini dapat diterima
tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat bergerak, atau karena takut fitnah bila
telah tanpak tanda-tandanya.
Setelah memperhatikan
riwayat-riwayat mengenai sikap nabi dan para sahabat yang berkaitan dengan bermushafahah,
al-Qardhawi menyimpulkan bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram.
Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) yang aman
dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapa berjabat tangan antara
laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari
perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita
yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak
perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman,
dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Al-Qardhawi menyebutkan dua
hal yang perlu ditekankan: Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan
perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta
aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya,
atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah
satunya maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya
kedua syarat ini tidak terpenuhi - yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah
- meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti
bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya,
maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Demikian pula
berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua
syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat
tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti dengan kerabat atau semenda
(besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab dengan mereka; dan tidak baik
hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi
syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada
riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita
lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Al-Qardhawi mengakhiri
tulisannya dengan anjuran yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah -
yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain
jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Dari tulisan al-Qardhawi,
dapat dipahamai bahwa dalam hal ini, ia sangat berhati-hati dalam memutuskan
hukum berjabat tangan. Karena dia dan kita semua sama-sama megetahui bahwa
berjabatan tangan telah menjadi kebiasaan di antara manusia, demikian pula di dalam
masyarakat kita. Berjabat tangan telah menjadi tradisi dan dianggap sebagai
sebuah cara menghormati dan memberikan sambutan baik terhadap orang lain.
Tradisi ini telah melekat
sekian lama di dalam kehidupan bermasyarakat di dalam umat ini. Bahkan ketika
seseorang yang tidak menerima atau menolak jabatan tangan dari orang lain, maka
ia akan dianggap tidak mempunyai adab dan etika sopan santun dalam bergaul.
Di sisi lain, kita mengetahui
bahwa Islam sendiri adalah agama yang penuh dengan akhlak dan etika yang mulia,
yang sangat menjaga kehormatan dan kesucian manusia, baik jasad maupun ruh dan
jiwanya. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah sikap yang paling utama dalam
hal ini.
Bagi
penulis, sesungguhnya hukum dasar mushafahah
dengan orang yang bukan mahram adalah haram. Keharaman ini di
maksudkan untuk menutup pintu fitnah dan kerusakan atau sadd al-dzari’ah. Karena
jika zina diharamkan oleh Allah, maka hal-hal yang dapat menyebabkan perzinaan
terjadi menjadi haram hukumnya. Demikian juga halnya dengan mushafahah.
Namun tidak pada semua kasus berjabat tangan dengan orang yang bukan mahram
dihukumi haram. karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ada orang-orang
tertentu yang dibolehkan bagi kita untuk berjabat tangan dengannya.
Demikian pula jika terjadi
hal sebagai mana yang disebutkan oleh al-Qardhawi seperti adanya kunjungan
kerabat yang sudah lama tidak bertemu, sehingga ia membolehkan berjabat tangan.
Maka dalam hal ini penulis lebih cenderung kepada kehati-hatian, yaitu dengan
menggunakan alas tangan atau sebagainya sehingga tidak lansung mengenai kulit
tangan.
Wallahu
a’lam.