Jumat, 20 Oktober 2017

Persatuan Seremonial

PERSATUAN SEREMONIAL

Oleh : Setiyono

Alkisah disebuah hutan rimba, hidup 4 ekor sapi. Dari semua sapi-sapi yang ada itu, mereka memiliki masalah antara satu dengan yang lain. Saling dengki, saling benci, dan saling intrik. Tapi walaupun begitu, mereka tetap hidup berdampingan. Bersama-sama menikmati lezatnya rumput dan dedaunan yang ada didalam hutan.

Sampai pada suatu ketika, dari balik semak-semak, ada seekor singa yang mengintai dan siap menerkam sapi-sapi itu. Terus mengintai dan mengendap-endap, terus bergerak maju hingga posisi semakin dekat, para sapi tetap tidak sadar dengan keberadaan singa. Sampai akhirnya, singa itu berhasil menerkam salah satu dari 4 ekor sapi itu dan menyantapnya.

Saat melihat ada seekor sapi diterkam oleh singa, sapi-sapi yang lain tidak menyelamatkan. Mereka hanya melihat dari kejauhan dan membiarkan semua rangkaian pembantaian itu. Dalam benak masing-masing sapi yang tersisa, bahwa itu bukan urusannya. Karena yang penting dirinya selamat, masa bodo dengan  sapi yang tengah diterkam singa. Toh sapi yang diterkam itu juga tidak begitu disukai olehnya. Begitulah yang muncul dalam benak sapi-sapi tersebut.

Lalu beberapa hari kemudian, saat 3 ekor sapi yang tersisa ini tengah asyik pula memakan rumput. Datang lagi sang singa, dan langsung menerkam salah satu dari mereka, kemudian menyantapnya. Saat melihat kejadian ini, 2 sapi yang tersisa masih melalukan hal yang sama. Hanya melihat, tidak melakukan upaya penyelamatan apapun. Karena menurut mereka, itu bukan urusannya. Karena yang penting dirinya selamat.

Kejadian seperti itu terus berulang, saat 2 ekor sapi sedang asyik makan rumput. Diterkam pula salah satunya oleh singa. Dan sapi yang selamat, masih tetap melakukan hal yang sama. Yang penting dirinya selamat. Tak ada urusan dengan sapi yang diterkam singa, toh sapi yang diterkam itu juga tidak disukainya.

Sampai akhirnya, 1 ekor sapi yang tersisa itu ternyata diterkam pula oleh singa. Meraung-Raung sapi tersebut minta tolong, menangis, sangat ketakutan, dan meronta-ronta tak karuan. Persis seperti yang pernah dilakukan oleh sapi-sapi sebelumnya. Namun tidak ada satu pun yang menolong. Karena saat itu sudah tidak ada sapi yang lain. Maka maut pun mendekatinya, karena taring singa sudah merobek lehernya, darahnya mengucur deras, dan tidak bisa berbuat apa-apa saat singa merobek-robek dagingnya dan melahapnya. Barulah kemudian, sapi itu sadar, jika dahulu dia tidak membiarkan singa menerkam sapi yang lain, pasti hari ini dia tidak akan diterkam oleh singa. Tapi apalah daya, semua sudah berlalu. Individualisme, egoisme, saling dengki, dan ketidakpeduliannya antar sapi dimasa lalu, telah menyebabkan mereka lemah. Sehingga yang seharusnya mereka bisa menghalau singa dengan kekuatan bersama, tapi kini telah menjadi santapan singa akibat perpecahan.

#Jangan menjadi seperti sapi

Kisah diatas, jika kita korelasikan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini. Seyogyanya mampu kita jadikan sebagai bahan refleksi. Mengingat beberapa waktu belakangan ini, konflik antar sesama warga bangsa, semakin jelas terasa. Terlebih lagi saat Proses transisi kepemimpinan DKI, konflik itu semakin keruh saja rasanya. Menjauhkan kita dari identitas bangsa, yakni bangsa yang satu, berdaulat, berkeadilan, tenggang rasa, dan saling gotong royong.

Semakin kesini, persatuan kita terasa hanya muncul secara seremonial belaka. Kita bisa bersatu saat upacara kemerdekaan dan bersatu dalam aktivitas di rumah-rumah ibadah, tapi keluar dari itu, kita saling bertikai, saling berkhianat, dan saling hancur menghancurkan.

Kondisi demikian jika tidak segera diakhiri, tentu tidak baik untuk masa depan demokrasi, ekonomi, politik dan kedaulatan bangsa kita. Mengingat semakin hari, perubahan zaman semakin cepat. Teknologi terus berkembang pesat, dan kompetisi antar bangsa semakin mengemuka. Jika kita tidak segera insyaf dan segera mengkonsolidasi diri, tentu kita akan menjadi bagian dari orang-orang yang kelak akan dipersalahkan zaman.

Jakarta, 20 Oktober 2017

Sabtu, 07 Januari 2017

Resensi buku Pandangan Hidup Muslim tulisan Professor dokter Hamka

Sore ini saya sempatkan mewawancarai suami sendiri yang sudah hampir selesai membaca buku tersebut.


Berikut ini resensinya
Semoga menambah keyakinan dan keIslaman kita.
Dan membuat kita tertarik untuk membaca buku Dr. Hamka ini.

Apa yang dibahas dalam buku tersebut?

Pada bagian awal buku ini menjelaskan tentang pentingnya kita untuk Istiqomah artinya komitmen dengan keimanan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala karena ketika kita tidak mampu untuk komitmen maka peluang-peluang untuk terjerumus kedalam paham-paham ataupun ideologi yang menghancurkan kita itu akan sangat besar.

Artinya keistiqomahan kita, kekokohan iman kita kepada Allah tersebut adalah salah satu perisai untuk membentengi kehidupan kita dari kehancuran itu.

Kemudian kita juga dituntut untuk senantiasa -dalam bahasa Hamka nya itu- adalah mencari Allah, selalu mencari di sini bukan berarti mencari Allah secara fisik atau bagaimana wujud Allah.

Mencari Allah artinya ketika kita menemukan sebuah persoalan maka kita kita harus mencoba senantiasa mampu untuk mendefinisikan bahwa itu dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Ketika kita melihat gunung, melihat fenomena-fenomena alam dan sebagainya, melihat bagaimana dunia ini, alam yang indah, lautan yang luas, langit, laut, gunung, matahari, bulan bintang dan manusia-manusia yang berjalan, makhluk-makhluk lainnya, semua itu adalah salah satu bentuk dari bukti adanya Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Kita harus terus mencari, karena semakin lama, semakin kita kuat mencari maka semakin kuat pula keimanan kita kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Artinya mencari data penguat ataupun data pendukung bahwa Allah Subhanahu ta'ala itu ada itu salah satu cara untuk mempertahankan keistiqomahan tadi.

Kemudian pada bagian selanjutnya buku ini menjelaskan tentang pentingnya kita meyakini bahwa kita ini sebagai umat Islam, umat yang terbaik. Umat yang beragama Islam yang pertama kita harus sadar bahwa kita ini adalah sebaik-baik umat dibandingkan umat yang lain secara ketauhidan kita, yang secara agama dibandingkan dengan agama lain itu yang pertama.

Yang kedua, ketika kita sudah meyakini bahwa kita adalah umat yang terbaik, maka bagaimana agar kita bisa termasuk ke dalam golongan umat yang baik. Sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam surat ali-imran ayat 10 yang artinya, kamu umat Islam, adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia karena kamu menyuruh berbuat makruf dan mencegah yang mungkar.
Di dalam tafsir Hamka itu, ketika kita sudah meyakini bahwa agama kita itu jauh lebih baik dan baik lebih baik dibandingkan agama yang lain, selanjutnya adalah kita dituntut untuk menjadi umat yang terbaik. Begitulah syarat untuk menjadi bagian dari umat yang terbaik, kita harus mampu untuk menyuruh manusia untuk mengerjakan, menyuruh kepada hal yang marah ya makruf dan mencegah dari hal-hal yang mungkar.
Ketika ini tidak dilakukan, ketika umat Islam, orang yang sudah beragama Islam sekalipun ketika dia tidak mau melakukan yang Ma'ruf dan mencegah yang mungkar maka dia bukan bagian dari golongan umat yang terbaik, itu kata Allah, dalam dalam tafsir Hamka dan ini benar rasional.
Karena tidak mungkin hanya sebatas karena kita mengaku sebagai orang yang beragama islam tetapi kita tidak mampu untuk mentransformasikan keislaman kita itu dalam bentuk beramar Ma'ruf dan mencegah yang mungkar.
Artinya sepanjang kita bisa melakukan itu maka kita akan masuk dalam golongan umat yang terbaik, tapi jika tidak maka kita jatuhnya akan sama seperti umat yang lainnya.  Dalam tafsiran Hamka, seperti itu sama jadi nanti sebagai umat Yahudi, Nasrani, jadi tidak ada gunanya juga kita mengaku sebagai orang yang beragama Islam.

Kita sebagai manusia sebagai umat Islam khususnya itu juga harus mampu untuk banyak bertanya dengan segala situasi yang ada dalam kehidupan ini artinya kita dituntut untuk mampu berpikir jauh. Mencari tahu, meriset, menganalisa, namun dari semua kebebasan kita berpikir itu harus dibatasi dengan ketauhidan kita kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.
Artinya kepada hal-hal yang sifatnya temporer itu silahkan kita berpikir sejauh mungkin, sedalam mungkin, tetapi ketika hal itu hal-hal yang sifatnya Absolut tentang Allah, yang menciptakan, lalu bahwa ada Muhammad, surga dan neraka, maka kita harus percaya dan harus yakin dengan itu, tidak perlu lagi untuk mendialogkan itu dengan keliaran pikiran kita.

Kemudian dalam buku ini pada bagian bagian tengahnya, kita dianjurkan untuk mampu memahami bahwa kehidupan ini indah. Hal itu bisa dengan menikmati kehidupan ini jangan mengeluh dengan kondisi kehidupan ini, kita nikmati.

Sejatinya hidup itu indah dan bagaimana untuk mencapai keindahan hidup itu kita tidak perlu hanya sebatas sibuk dengan satu aktivitas, hanya sibuk dengan aktivitas politik, hanya sibuk dengan aktivitas ekonomi bisnis, sibuk dengan aktivitas ilmu pengetahuan. Bukan seperti itu, yang dimaksud Indahnya hidup itu kita sekali-kali kita juga harus mampu mengisi dengan, bagaimana kita mampu melihat ketika mawar itu mekar, burung itu terbang, ketika rembulan itu bersinar.

Ini yang dikatakan Hamka bahwa sejauh mana kemampuan kita untuk menyelami sampai sedalam itu itulah inti dari kehidupan yang indah.
Kalau hanya sebatas ilmu pengetahuan saja yang dimiliki misalnya, maka dia juga akan menjadi manusia yang gersang dan tidak bisa merasakan bagaimana indahnya hidup
Ada jeda waktu, ada bagian-bagian waktu di mana kita bisa asyik bercanda dengan keluarga, bertegur sapa dengan masyarakat sekitar kita, berjamaah di mesjid, bertemu dengan masyarakat, menikmati alam yang indah, menikmati hari, menikmati bunga yang bermekaran harumnya, burung yang berterbangan, angin semilir, dan sebagainya. Ini adalah salah satu seni untuk mendapatkan kehidupan yang indah

Setelah ketauhidan kita kepada Allah itu kuat, maka selanjutnya kita dianjurkan untuk mampu meneladani Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam karena ini sudah pasti. Antara Allah dan rasul itu adalah sesuatu yang saling berkaitan berkelindan. Tidak bisa dipisah-pisahkan, dimana ketika kita yakin dengan Allah maka kita juga harus yakin dengan Muhammad sollallahu alaihi wasallam.
Mengikuti apa yang dijalankan oleh Muhammad sollallahu alaihi wasallam untuk mengarahkan kita kepada Allah subhahu wa ta'ala.
Berperilaku meneladani rasulAllah cahaya bagi dunia, cahaya bagi dunia ini yang dulu orang jahiliyah, yang bisa dirubah menjadi manusia yang mengerti ke mana seharusnya tujuan hidup itu.

Kemudian selanjutnya dalam buku ini Hamka menjelaskan tentang pentingnya kita untuk memperluas ilmu pengetahuan kita. Memperdalam ilmu pengetahuan kita, kalau kita mampu menciptakan teknologi-teknologi yang bisa menembus langit yaitu silahkan, bagus dan Allah malah menantang itu. Jika jin dan manusia itu mampu sampai ke langit, ya silahkan nggak masalah. Artinya kita yang dituntut untuk memperbanyak ilmu pengetahuan kita, meneliti lebih jauh, membuat sebuah penemuan-penemuan, penelitian, dengan catatan itu semua harus diniatkan untuk   mendekatkan diri kepada Allah, ataupun menjelaskan secara rasional terhadap apa apa yang sudah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dalam al-qur'an.

Sedangkan pada bagian bagian terakhir, bahwa antara ilmu dan agama itu juga tidak boleh kita pisah pisahkan. Artinya ketika kita mendalami sebuah ilmu pengetahuan maka tinggal di seimbangkan dengan mendalami agama. Karena kebanyakan, ketika hanya fokus hanya pada ilmu pengetahuan maka nanti akan menjadi semakin liar dan kita jadi semakin tidak percaya dengan agama. Menjadi semakin jauh dengan agama, bahkan tidak percaya, kita bisa terjebak dengan pikiran-pikiran orang-orang pemikir barat dan sebagainya.
Ini artinya antara ilmu dan agama memang sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Kalau kita berniat untuk memecahkan persoalan-persoalan ataupun memecahkan tentang misteri-misteri yang terkandung dalam ayat Alquran misalnya, pengetahuan itu bagus untuk memperkuat keimanan kita.

Demikian sekilas isi buku Hamka, Pandangan hidup muslim..

Bagi yang berminat, bisa hubungi 081371662013