Rabu, 04 Desember 2013

Lokalisasi

Bismillah
Malam ini sebelum tidur kusempatkan menulis apa yang ada dalam benakku saat ini. Teringat diskusi panjang kami mengenai topik hangat di beberapa waktu lalu saat training kepemimpinan di surabaya. Pembahasan yang didiskusikan saat adalah masalah pemanfaatan teknologi informasi pada kawasan lokalisasi yang pada akhirnya menjurus kepada masalah keberadaan lokalisasi itu sendiri.
Banyak yang setuju, namun ada juga yang tidak menyetujui dan salah satunya adalah aku. Tidak hanya dalam forum diskusi, dalam kelompok diskusi pun aku menjadi minoritas yang keras membantah keberadaan lokalisasi. Berbagai alasan dikemukakan oleh para peserta yang menyetujui keberadaan lokalisasi, mulai dari sisi ekonomi dengan mengatakan akan menambah pendapatan masyarakat, hingga alasan sosial dengan mengatakan bahwa lokalisasi dapat mencegah tersebarnya pelacur di tiap sudut kota.
Satu hal yang ingin ku sampaikan disini. Sebagai seorang kader KAMMI yang sama-sama berusaha mewujudkan tujuan “mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami”, kita harus bersikap tegas terhadap kebatilan yang jelas-jelas salah dimata Islam. Bukan sebaliknya, loyo dan lemah hanya dikarenakan alasan perekonomian masyarakat.
Membahas masalah lokalisasi di sebuah daerah di salah satu bagian negara  Indonesia memang tidak cukup hanya dengan diskusi beberapa jam saja, apatah lagi seluruh daerah yang menjadi dan dijadikan kawasan prostitusi. Diperlukan penelaahan yang tajam dan mendalam mengenai manfaat dan kerusakan yang ditimbulkannya.
Dalam sebuah kaidah, disebutkan bahwa “menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada mengambil manfaat”. Kita dapat menemukan kalimat ini dalam buku-buku hukum Islam. Oleh karena itu, hal yang harus ditemukan dan dipahami dalam masalah lokalisasi ini adalah manfaat dan kerusakan yang ditimbulkannya. Namun sebelum itu, harus kita perhatikan hukum yang diberikan oleh Allah terhadap perbuatan hubungan seksual antara perempuan dan laki-laki yang berada diluar ikatan pernikahan yang sah yang disebut dengan zina. Hukumnya adalah haram, hal ini dapat dipahami dari kalimat “dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS 17:32) dari sini dapat dilihat bagaimana Allah sangat mengantisipasi agar manusia menjauh dari perbuatan zina.
Dari hukum perbuatannya saja telah haram, lalu bagaimana dengan pengadaan fasilitas bagi manusia untuk dapat melakukan perzinaan dengan mudah dan tanpa dihalang-halangi? Tentu saja jelas hukumnya juga haram sebagaimana jelasnya keharaman menjual minuman beralkohol, meski si penjual tidak meminumnya, namun ia telah menyediakan kemudahan bagi orang lain untuk mendapatkan minuman tersebut.
Lalu bagaimana dengan pemanfaatan teknologi Informasi di daerah lokalisasi? Jawabannya ada pada sebuah kaidah fiqh yang berbunyi ” Apabila berkumpul yang halal dengan yang haram maka hukumnya menjadi haram”. Maksudnya, meskipun pemanfaatan teknologi informasi adalah sebuah hal yang halal, namun dikarenakan haramnya prbuatan zina dan pengadaan kawasan lokalisasi maka hukum pemanfaatan teknologi informasi di daerah lokalisasi menjadi haram.
Kembali kepada masalah pengadaan lokalisasi, yang menjadi sebuah PR bagi kita semua yang akan mewarisi negeri ini dengan seluruh permasalahannya, penanganan dan penyelesaian msalah lokalisasi tidak dapat dilakukan hanya dengan pembubaran dan pengalih fungsian daerah lokalisasi saja karena hal itu masih sangat parsial. Diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh dan tidak separuh-separuh. Segala sisi harus dikaji, mulai dari perempuan-perempuan penyedia jasa seks, pelanggan, masyarakat sekitar, aturan hukum yang jelas, hingga hukuman yang diberikan kepada pelaku zina, kesemuanya harus dapat menutup pintu bagi perzinaan hingga tidak ada celah bagi manusia untuk dapat melakukannya atau bahkan mendekatinya.
Prostitusi adalah sebuah titik kecil masalah yang ada di negara kita ini, namun titik kecil tersebut sangat mempengaruhi kehidupan negara, karena perbuatan zina dapat merusak tatanan terkecil dalam sebuah negara, yaitu keluarga. Tidak hanya tubuh negara yang akan rusak, pandangan dunia terhadap negara ini juga akan rusak.  Maka, masihkan kita akan menyetujui pengadaan lokalisasi bagi para pelacur yang diberikan gelar kehormatan dengan “pekerja” seks komersial?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar