Hukum dan Kekuasaan Di Dalam Islam
Pada
praktek kehidupan bernegara di Indonesia, kekuasaan yang dipegang oleh
pemerintah, merupakan kekuasaan yang bersumber dari kekuatan, dimana untuk
memperoleh kekuasaan ini diperlukan kekuatan untuk memenagkan persaingan antara
kelompok.
Di
dalam teori mengenai sumber kekuasaan, disebutkan bahwa kekuasaan yang
diperoleh melalui kekuatan inilah yang memegang kendali dalma menetapkan dan
membuat hukum.[1]
Namun
jika dilihat kembali, kekuasaan yang diperoleh oleh pemerintah saat ini tidak
sepenuhnya bersumber dari kekuatan, tetapi juga melalui perjanjian masyarakat,
sebagaimana yang disebutkan di dalam teori kontrak sosial. Hal ini dikarenakan
terpilihnya orang-orang yang menjabat sebagai pemerintah saat ini merupakan
hasil dari keinginan rakyat. Rakyat dalam hal ini memberikan kekuasaan kepada
mereka untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan.
Hubungan antara hukum dan kekuasaan sebagaimana yang telah dibahas
sebelumnya tampak disini. Dimana kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah
mencakup kekuasaan untuk menetapkan hukum. Sementara itu, di dalam berbagai pendapat ulama mengenai
pemerintahan ini, didapati bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk
memastikan syari’at Islam dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat
yang berada di abawah kekuasaanya. Sehingga dengan demikian, di dalam Islam itu
sendiri, hukum atau syari’at harus didukung oleh kekuasaan yang dalam
hal ini yaitu pemerintahan.
Sementara itu, menurut Ibnu Taimiyah, tujuan negara atau
pemerintahan adalah berlakunya syari’at dan menjadikan syari’at sebagai
kekuasaan tertinggi di negara tersebut (mewujudkan kepatuhan hanya kepada
Allah). Dengan demikian, kekuasaan tertinggi adalah syari’at itu
sendiri. Artinya hukum Islamlah yang memegang kekuasaan tertinggi di sebuah
negara, bukan pemerintahan yang ada di dalam negara tersebut.[2]
Dari pendapat Ibnu Taimiyah di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan
sesungguhnya tidak berada di tangan penguasa atau pemerintah selama syari’at
dapat dijalankan dengan semestinya. Hal ini dikarenakan syari’at merupakan
aturan yang memuat ketetapan Allah SWT dan ketentuan Rasulullah saw, baik
berupa larangan maupun suruhan, yang meliput seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia.[3]
Sehingga dengan demikian, apabila syari’at dijalankan dengan
sebagai mana mestinya, pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara akan
tunduk dan patuh kepada apa yang ditetapkan di dalam syari’at itu
sendiri. Hal ini akan berdampak pada kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah di
negara tersebut. Dimana apabila pemerintah yang berkuasa pada saat itu
melanggar aturan atau syari’at maka rakyat dapat menurunkan mereka dari
kursi pemerintahan dan kekuasaan mereka terhadap rakyat bisa dihapuskan dan
diberikan kepada pihak lain sebagai pengganti pemerintah sebelumnya.
Dari pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut, terlihat bahwa kekuasaan dan
hukum adalah dua hal yang saling melengkapi. Tanpa kekuasaan, pemerintah atau
negara yang memaksakan berlakunya sebuah hukum akan berada dalam bahaya. Demikian
juga sebaliknya, tanpa tegaknya hukum yang benar, kekuasaan pemerintahan dalam
sebuah negara dapat menjadi sebuah kekuasaan yang tiranik.
Pengaruh Kekuasaan Terhadap Hukum
Sebagaimana telah dibahas di atas, hukum dan kekuasaan memiliki
hubungan yang tidak dapat dinafikan, baik itu dalam pandangan umum maupun dalam
kacamata Islam.
Islam memandang hukum yang dihasilkan oleh manusia itu benar sejauh
tidak bertentangan dengan aturan Allah. Kekuasaan legislatif yang dipegang oleh
manusia harus tunduk pada hukum Allah. Ini artinya, kekuaasaan dan hukum di
dalam Islam harus tetap berada di dalam koridor yang telah Allah tentukan.
Sementara itu, kekuasaan legislatif atau pembuat hukum di dalam
sebuah negara yang berasaskan demokrasi seperti Indonesia -dengan demokrasi Pancasilanya-
diperoleh dari pelimpahan kekuasaan oleh rakyat kepada sekelompok orang yang
telah dipilih melalui pemilu dengan payung hukum UUD 1945.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh
para legislator berada dibawah kekuasaan rakyat sebagai pelimpah kekuasaan. Sehingga
konsekuensi logisnya adalah keterbatasan legislator dalam menelurkan hukum,
dimana mereka tidak dapat sewenang-wenang mengundang-undangkan atau mengesahkan
sebuah rancangan undang-undang apabila isinya bertentangan dengan kehendak
rakyat secara umum. Namun hal ini hanya akan terjadi jika kondisi normal,
dimana pemegang kekuasaan negara memiliki sifat amanah dan adil dalam
menjalankan tugasnya.
Santi Indriani mengutip tulisan
Mahfud yang menyebutkan ada dua karakter produk hukum yang merupakan refleksi
dari pemegang kekuasaan yaitu:
1.
Produk hukum responsif atau populistik adalah produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok
sosial atau individu dalam masyarakat, dan;
2.
Produk hukum konservatif/elite merupakan produk hukum yang isinya
lebih mencerminkan visi sosial elite politik, lebih mencerminkan keinginan
pemerintah, bersifat positivis instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana
ideologi dan program negara.
Kondisi yang terjadi saat ini adalah, kekuasaan legislatif
mempunyai peranan yang sangat dominan dalam menentukan corak dan karakter hukum
yang ada dinegara kita yang menggambarkan keinginan pemerintah, bukan keinginan
rakyat banyak.[4]
Salah satu usaha agar produk hukum yang dihasilkan oleh kekuasaan
legislatif mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat adalah
dengan merubah paradigma dan jalan berfikir para wakil rakyat yang duduk di
kursi legislatif. Menyadarkan mereka bahwa kekuasaan yang mereka miliki saat
ini adalah pelimpahan dari rakyat yang telah memilihnya dan mereka tidak hanya
bertanggung jawab kepada rakyat tetapi juga kepada Tuhan sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi di alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar