Kamis, 05 Desember 2013

Hukum dan Kekuasaan

 Hukum dan Kekuasaan Di Dalam Islam
Pada praktek kehidupan bernegara di Indonesia, kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah, merupakan kekuasaan yang bersumber dari kekuatan, dimana untuk memperoleh kekuasaan ini diperlukan kekuatan untuk memenagkan persaingan antara kelompok.
Di dalam teori mengenai sumber kekuasaan, disebutkan bahwa kekuasaan yang diperoleh melalui kekuatan inilah yang memegang kendali dalma menetapkan dan membuat hukum.[1]
Namun jika dilihat kembali, kekuasaan yang diperoleh oleh pemerintah saat ini tidak sepenuhnya bersumber dari kekuatan, tetapi juga melalui perjanjian masyarakat, sebagaimana yang disebutkan di dalam teori kontrak sosial. Hal ini dikarenakan terpilihnya orang-orang yang menjabat sebagai pemerintah saat ini merupakan hasil dari keinginan rakyat. Rakyat dalam hal ini memberikan kekuasaan kepada mereka untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan.
Hubungan antara hukum dan kekuasaan sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya tampak disini. Dimana kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah mencakup kekuasaan untuk menetapkan hukum. Sementara itu,  di dalam berbagai pendapat ulama mengenai pemerintahan ini, didapati bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk memastikan syari’at Islam dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat yang berada di abawah kekuasaanya. Sehingga dengan demikian, di dalam Islam itu sendiri, hukum atau syari’at harus didukung oleh kekuasaan yang dalam hal ini yaitu pemerintahan.
Sementara itu, menurut Ibnu Taimiyah, tujuan negara atau pemerintahan adalah berlakunya syari’at dan menjadikan syari’at sebagai kekuasaan tertinggi di negara tersebut (mewujudkan kepatuhan hanya kepada Allah). Dengan demikian, kekuasaan tertinggi adalah syari’at itu sendiri. Artinya hukum Islamlah yang memegang kekuasaan tertinggi di sebuah negara, bukan pemerintahan yang ada di dalam negara tersebut.[2]
Dari pendapat Ibnu Taimiyah di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan sesungguhnya tidak berada di tangan penguasa atau pemerintah selama syari’at dapat dijalankan dengan semestinya. Hal ini dikarenakan syari’at merupakan aturan yang memuat ketetapan Allah SWT dan ketentuan Rasulullah saw, baik berupa larangan maupun suruhan, yang meliput seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.[3]
Sehingga dengan demikian, apabila syari’at dijalankan dengan sebagai mana mestinya, pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara akan tunduk dan patuh kepada apa yang ditetapkan di dalam syari’at itu sendiri. Hal ini akan berdampak pada kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah di negara tersebut. Dimana apabila pemerintah yang berkuasa pada saat itu melanggar aturan atau syari’at maka rakyat dapat menurunkan mereka dari kursi pemerintahan dan kekuasaan mereka terhadap rakyat bisa dihapuskan dan diberikan kepada pihak lain sebagai pengganti pemerintah sebelumnya.
Dari pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut, terlihat bahwa kekuasaan dan hukum adalah dua hal yang saling melengkapi. Tanpa kekuasaan, pemerintah atau negara yang memaksakan berlakunya sebuah hukum akan berada dalam bahaya. Demikian juga sebaliknya, tanpa tegaknya hukum yang benar, kekuasaan pemerintahan dalam sebuah negara dapat menjadi sebuah kekuasaan yang tiranik.

Pengaruh Kekuasaan Terhadap Hukum
Sebagaimana telah dibahas di atas, hukum dan kekuasaan memiliki hubungan yang tidak dapat dinafikan, baik itu dalam pandangan umum maupun dalam kacamata Islam.
Islam memandang hukum yang dihasilkan oleh manusia itu benar sejauh tidak bertentangan dengan aturan Allah. Kekuasaan legislatif yang dipegang oleh manusia harus tunduk pada hukum Allah. Ini artinya, kekuaasaan dan hukum di dalam Islam harus tetap berada di dalam koridor yang telah Allah tentukan.
Sementara itu, kekuasaan legislatif atau pembuat hukum di dalam sebuah negara yang berasaskan demokrasi seperti Indonesia -dengan demokrasi Pancasilanya- diperoleh dari pelimpahan kekuasaan oleh rakyat kepada sekelompok orang yang telah dipilih melalui pemilu dengan payung hukum UUD 1945.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh para legislator berada dibawah kekuasaan rakyat sebagai pelimpah kekuasaan. Sehingga konsekuensi logisnya adalah keterbatasan legislator dalam menelurkan hukum, dimana mereka tidak dapat sewenang-wenang mengundang-undangkan atau mengesahkan sebuah rancangan undang-undang apabila isinya bertentangan dengan kehendak rakyat secara umum. Namun hal ini hanya akan terjadi jika kondisi normal, dimana pemegang kekuasaan negara memiliki sifat amanah dan adil dalam menjalankan tugasnya.
Santi Indriani mengutip  tulisan Mahfud yang menyebutkan ada dua karakter produk hukum yang merupakan refleksi dari pemegang kekuasaan yaitu:
1.        Produk hukum responsif atau populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat, dan;
2.        Produk hukum konservatif/elite merupakan produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara.
Kondisi yang terjadi saat ini adalah, kekuasaan legislatif mempunyai peranan yang sangat dominan dalam menentukan corak dan karakter hukum yang ada dinegara kita yang menggambarkan keinginan pemerintah, bukan keinginan rakyat banyak.[4]
Salah satu usaha agar produk hukum yang dihasilkan oleh kekuasaan legislatif mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat adalah dengan merubah paradigma dan jalan berfikir para wakil rakyat yang duduk di kursi legislatif. Menyadarkan mereka bahwa kekuasaan yang mereka miliki saat ini adalah pelimpahan dari rakyat yang telah memilihnya dan mereka tidak hanya bertanggung jawab kepada rakyat tetapi juga kepada Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di alam semesta.



[1] Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet. ke-4, h. 264.
[2] http://www.gutenberg.org

[3] Mohammad Daud Ali, op. cit.,  h. 45
[4] Jurnal Hukum, Santi Indriani, Hukum dan Kekuasaan dalam Implementasinya, Volume 3, No. 6, Desember 2010, h.  86.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar