Senin, 08 September 2014

Sampai di sini

Bismillah
Sampai pada posisi ini saya berfikir. Mungkin ini adalah saat yang sangat tepat bagi kita untuk belajar kembali. Membaca kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dan memperbaikinya untuk perjalanan kedepan.

Bagaimanapun, kehidupan harus tetap berjalan. Karena waktu tidak akan berhenti hanya karena isak tangis seorang manusia berdosa yang bersalah dan menyesali kesalahannya. Karena waktu juga tidak akan berulang kembali hanya karena segelintir manusia yang baru menyadari kesalahan yang telah mereka lakukan.

Bagaimanapun kita menyesali sebuah kesalahan, bagaimanapun kita menangisi sebuah dosa yang telah dilakukan, waktu akan terus berjalan membawa kita menemui kondisi dan situasi yang berbeda. Namun evaluasi dan intropeksi adalah hal yang mesti dilaksanakan. Karena tanpanya, sebuah maksud perbaikan tidak akan dapat dilaksanakan dengan sempurna. Keduanya, evaluasi dan intropeksi merupakan ruang yang harus dimasuki dan jalan yang harus dilalui sebelum masuk ke dalam ruang perbaikan. Dengan evaluasi, kita dapat mengetahui bagian mana dari sejarah perjalanan ini yang harus diulangi. Bagian mana darinya yang harus kita hindari dan bangian mana pula yang harus diatasi dengan menemukan solusi. 

Saya berfikir. Hingga kini, kita masih harus belajar bahwa ternyata kekuatan kita belum seberapa. Masih banyak yang harus dibenahi sebelum tangan ini menggenggam dunia. Akar yang berada di dalam tanah harus mampu menjalar keselilingnya, menembus ke dalam bumi, sabar dengan keberadaannya yang tidak diketahui. 

Akar itu adalah kunci pertama keberhasilan kerja-kerja ini, bila mereka memberontak ingin menunjukkan gigi, wajah dan suara, maka cukuplah sampai di sini saja pertumbuhan pohon perjuangan kita. Ia tidak lagi mampu memberi rindangan daun dan cakar ranting yang tinggi karena pondasi dimana sebelumnya kaki dapat berpijak kini tidak terasa lagi. Karena akar telah muak bersembunyi dan menyepi di dalam tanah tak terdeteksi. Karena akar berharap dapat dipuji sebagaimana batang dan rating yang meninggi. Karena akar merasa tidak pernah diberikan peduli.

Hingga di sini saya berfikir kembali. Bila akar tak mampu bekerja dengan sempurna, biarlah batang dan ranting mengalah membantunya. Meski keduanya tak mampu menggantikan kerja akar mereka, namun sekurang-kurangnya dapat membantu meringankan beban akarnya. Batang dan ranting harus menahan diri dan terus berusaha agar tinggi dan cakarnya tidak menyebabkan akar kepayahan menyeimbangkan pohon kerja, agar akar mampu memberikan nutrisi pada semua bagian pohonnya. Sehingga meskipun pohon itu terlihat kalah tingginya, namun rimbun dan segar daunnya serta manis buahnya, tidak mudah tercabut dari bumi yang tercinta.

Saya berfikir. Demikianlah kita, mungkin akan ada saatnya saat pohon kerja kita harus menahan keinginannya untuk tinggi menjulang dan besar melebar. Mungkin ada saatnya dimana kita harus memperbaiki akar dan memperbarui nutrisi tanah tempat pohon kerja ini tumbuh. Mungkin akan ada saatnya kita harus berlapang dada melihat pohon lain dipuji karena bagusnya, sementara kita terlindung tak terlihat karena pendeknya.

Kemudian saya bertanya pada sang pemilik masa, munginkan saat itu telah dekat atau ternyata ia telah berada di hadapan kita?

Malam yang sunyi, setelah diskusi bersama sang pengganti diri di pohon kerja ini.

Selasa, 01 Juli 2014

Hati

Manusia
Mahkluk yang berakal ini tidak sekedar pengisi bumi.
Meski jumlahnya masih dikalahkan oleh jenis serangga, namun ia sangat mendominasi kehidupan di bumi.

Hati adalah hal lain yang dimiliki manusia.
dengan hati, manusia dapat meraskan berbagai emosi.
dengan hati pula manusia dapat memakmurkan bumi.

Namun sebagaimana juga akal, hati kadang tidak selalu benar dan lurus.
Ia butuh dijaga dan dirawat, sehingga dengannya semua gerak tubuh adalah hal-hal yang dibenarkan syari'at.

Mawar dan Duri

saya pernah membaca sebuah tulisan. 

lupa siapa yang menulisnya namun begini intinya:

Orang-orang selalu menyesali kenapa mawar memiliki duri, namun saya menyenangi karena duri memiliki mawar.

indah bukan?
Melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain.
Memandang dengan cara yang berbeda terhadap dunia kadang dibutuhkan. dalam hal apapun itu.

Karena dengan menggunakan cara pandang yang berbeda, kita mampu meihat sisi lain yang kadang sebenarnya lebih indah untuk dilihat dan diamati.

Demikian hidup ini, semua tergantung kepada kita. apakah ingin menyesali atau ingin mencari hal lain yang dapat membawa kebahagiaan unik yang tidak dirasakan orang lain.

Si idealis


Berbicara tentang hal-hal yang normatif, yang idealis, seperti keluar dari saya yang sebenarnya. Mengatakan saya harus menjaga hati hanya untuk Allah, sementara mata ini terkadang masih selalu melirik ke arah laki-laki di jalanan. Mengatakan saya harus selalu mengingat Dia, sementara hati saya kadang selalu memikirkan seorang laki-laki, keadaannya, kebaikannya, dan hal-hal yang spesial darinya.
Jika saya katakan munafik, itu sangat jauh. Namun begitulah perasaan saya. Serasa seperti apa yang ada di dalam diri ini hanyalah kebohongan-kebohongan. Semua hal yang bertentangan dengan yang idealis itu yang saya lakukan. Dosa dan kesalahan serta kekhilafan di dalam kehidupan tidak dapat saya hindari. Ini adalah saya.
Bila dikatakan manusia yang buruk adalah manusia yang mempunyai dua kepribadian, mungkn itu adalah saya. saya merasa memang mempunyai hal itu. Sisi diri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di satu sisi saya adalah seorang manusia yang selalu berusaha melakukan yang terbaik bagi semua yang kumiliki. Menjadi manusia yang ideal, manusia yang diharapkan hadir ditengah-tengah dunia, menjadi manusia yang wajib. 
Namun satu sisi lainnya, apa adanya, saya adalah saya yang selalu bermain dengan perasaan-perasaan, kenangan-kenangan, menginginkan sesuatu yang terkadang jauh dari apa yang seharusnya saya lakukan, bahkan bertentangan dengan konsep manusia beriman menurut saya. Yang saya bicarakan di sini bukan masalah akidah, namun akhlak, pergaulan sehari-hari dengan manusia-manusia diluar, saya yang serba kekurangan.
Idealis, kadang saya berfikir bahwa saya adalah tipe seorang manusia yang idealis, namun jika dipandang lagi ke dalam, yang didapatkan adalah diri yang masih serba kekurangan. Dan idealis akhirnya hanya menjadi cita-cita dalam fikiran. Hidup dengan apa yang seharusnya, sangat idealis dan normatif.
Pandangan sisi lain dari diri saya mengenai kehidupan yang ideal itu terkadang terasa sangat membosankan, tiada hal-hal baru yang bisa menambah warna di dalam jalur pengalaman. Polos dan jelas, karena semuanya bergantung pada ketentuan dan aturan main kehidupan yang seharusnya. Sangat membosankan. Namun adakalanya sang idealis itu berubah menjadi sangat menggiurkan. Seperti segelas minuman yang tidak hanya menghilangkan dahaga tetapi juga dapat memberikan kenikmatan yang tak dapat diberikan oleh benda apapun di dunia ini. Kenikmatannya dapat mengalahkan akal dan hati.
Munafik jika saya berbicara mengenai susuatu yang seharusnya dilakukan, menerangkan bagaimana melakukannya, menjelaskan manfaat dan bagaimana fungsinya dalam kehidupan namun dikehidupan saya hal itu susah untuk dicapai. Sulit dilakukan meski terkadang sudah berusaha untuk melaksanakannya.
Idealis kadang menjadi sebuah capaian, bukan jalan. Bagi saya hal itu sering terjadi.
Banyak anggapan di luar sana mengenai saya, yang selalu ingin segala sesuatunya berjalan dengan sebagai mana mestinya. Begitu pandangan mereka, saya adalah sang idealis. Tetapi mereka tidak sepenuhnya benar, apa yang  saya lakukan adalah apa yang hati ini inginkan. Nuraniku bermain peranan.
Ketika dikatakan “sok suci” atau “sok bersih”, saya tidak bisa memberikan jawaban, karena yang dilakukan adalah apa yang diinginkan hati. Bukankah hati ini kadang bersih dan terkadang kotor? Mungkin mereka hanya melihat saya ketika ia bersih, dan Tuhan menutupi perbuatan saya ketika ia kotor. Sehingga yang bisa mereka katakan ketika saya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan nafsu maka kata-kata yang  saya dapatkan adalah hinaan dan cemoohan.
Bukankah seharusnya manusia harus selalu berusaha untuk membersihkan diri? Meski dia bukan malaikat yang memang sudah bersih adanya, namun itu adalah salah satu keistimewaan manusia. Ketika bayak hal di dunia yang mampu mengotori hatinya, ia sanggup berjuang melawan semuanya, membersihkan hatinya. Meski kadang telah kotor dan berkarat tetapi ketika cahaya itu datang menyapa sang hati, kotoran terbandel pun mampu dibersihkan.
Cahaya itu tidak datang kepada semua orang, karena cahaya itu adalah hasil dari pilihan. Manusia dapat memperoleh dan menjaga cahaya itu agar tetap berada di dalam hatinya. Namun cahaya itu tidak datang dengan begitu saja, karena manusia telah diberikan pilihan. Pilihan yang menentukan kehidupan selanjutya, membawanya kepada cahaya atau mejauhkannya dari cahaya.
Sang idealis adalah salah seorang yang akan berusaha mendapatkan cahaya itu. Karena ia tahu itu yang seharusnya ia lakukan. Sementara saya, selalu berada dalam posisi dimana sang idealis harus berjuang mati-matian memperebutkan kursi penguasa di tubuh, hati dan akal ini. Kadang ia bisa memenangkannya, namun terkadang nafsu yang mendudukinya.

Pekanbaru, 25 12 2012
Sianghari setelah dzuhur dilaksanakan.
 Bismillah
Alhamdulillah, Allah mempertemukan kita dengan bulan yang penuh berkah, bulan Ramadhan, dan hal menyenangkan dari bulan Ramadhan selain limpahan pahala bagi setiap amalan yang dikerjakan pada tiap detiknya, kemenangan di bulan syawal akan selalu menunggu untuk didatangi.
Tapi tidak manusia jika bisa hidup tanpa masalah, bahkan di bulan yang penuh kegembiraanpun ada kecemasan-kecemasan yang menggelayut di dalam hati.
Bulan syawal, bulan di mana setiap muslim kanbergembira, saling mengunjungi dan bermaaf-maafan. Sangat indah, lalu apa masalahnya yang membuat cemas?
Bersalaman, itu masalahnya. Masalah bersalaman ini sudah banyak di dikaji oleh para ulama, mau sunni, syi’ah, bahkan Hizb al-Tahrir sekalipun.
Bersalaman yang dalam bahasa arabnya adalah mushafahah, yaitu memegang tangan dengan tangan sebagaimana yang ditulis oleh Doktor Hisam al-Din di dalam tulisannya yang berjudul al-Adillat al-Syari’ah ‘ala Tahrim Mushafahat al-Marah al-Ajnabiyah. Selain itu, beliau juga mengutip beberapa pengertian lain yang disebutkan oleh beberapa ahli bahasa, seperti  Al-Jauhari, Al-Fiwami dan Ibn Mandzur dalam Lisan al-Arabnya. Yang pada intinya,  mushafahah atau berjabat tangan adalah membuka dan melebarkan tangan kepada tangan orang lain kemudian memegang atau menjabatnya.
Mengenai hukum berjabat tangan dengan orang-orang yang bukan mahram, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor Hisam al-Din bahwa para ulama sunni yang tergabung dalam mazhab Hanafiyah, Malikiyah, syafi’iyah dan Hanabilah (pengikut imam Ahmad Ibn Hambal) menyatakan haram dengan berbagai dalil baik dari al-Qur’an maupun hadits.
Misalnya Imam al-Nawawi yang berasal dari Mazhab Syafi’iyah berkata : ....bahwasanya suara perempuan tidak termasuk aurat dan dilarang menyentuh kulit perempuan ajnabi (bukan mahram) melainkan karena alasan darurat seperti dalam pengobatan.
Demikian juga ulama kontemporer seperti Nashr al-Din al-Albani yang menggunakan hadits yang di riwayatkan oleh al-Tabrani dan al-Baihaqi, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi saw: “sesugguhnya ditusukkan kepala seseorang di antara kamu dengan jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”.
Demikian pula Wahbah al-Zuhaili yang menggunakan sabda Nabi saw: “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan perempuan”, sebagai dalil. Begitu pula Muhammad ‘Abd al-‘Aziz ‘Amru dan Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi
Adapun Yusuf al-Qardhawi, di dalam bukunya Fatawi Mu’ashirah, pada awal pembahasannya, ia menuliskan bahwa ada dua hal yang tidak diperselisihkan oleh para ulama, yaitu mengenai keharaman bersalaman apabila disertai  dengan  syahwat  dan  taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita, atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya  fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan ini diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju  kerusakan  itu  adalah wajib. Yang kedua yaitu adanya kemurahan  (diperbolehkan)  berjabat  tangan  dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil  yang  belum  mempunyai syahwat  terhadap  laki-laki,  karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Kemudian al-Qardhawi menuliskan bahwa mayoritas ulama yang berasal dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka yang menyatakan berjabat tangan yang tidak disertai dengan syahwat hukumnya haram berdalil dengan alasan menutup pintu fitnah dan kerusakan atau sadd al-dzari’ah dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat bergerak, atau karena takut fitnah bila telah tanpak tanda-tandanya.
Setelah memperhatikan riwayat-riwayat mengenai sikap nabi dan para sahabat yang berkaitan dengan bermushafahah, al-Qardhawi menyimpulkan bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) yang aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapa berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Al-Qardhawi menyebutkan dua hal yang perlu ditekankan: Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah - meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Demikian pula berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab dengan mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Al-Qardhawi mengakhiri tulisannya dengan anjuran yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah - yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Dari tulisan al-Qardhawi, dapat dipahamai bahwa dalam hal ini, ia sangat berhati-hati dalam memutuskan hukum berjabat tangan. Karena dia dan kita semua sama-sama megetahui bahwa berjabatan tangan telah menjadi kebiasaan di antara manusia, demikian pula di dalam masyarakat kita. Berjabat tangan telah menjadi tradisi dan dianggap sebagai sebuah cara menghormati dan memberikan sambutan baik terhadap orang lain.
Tradisi ini telah melekat sekian lama di dalam kehidupan bermasyarakat di dalam umat ini. Bahkan ketika seseorang yang tidak menerima atau menolak jabatan tangan dari orang lain, maka ia akan dianggap tidak mempunyai adab dan etika sopan santun dalam bergaul.
Di sisi lain, kita mengetahui bahwa Islam sendiri adalah agama yang penuh dengan akhlak dan etika yang mulia, yang sangat menjaga kehormatan dan kesucian manusia, baik jasad maupun ruh dan jiwanya. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah sikap yang paling utama dalam hal ini.
Bagi penulis, sesungguhnya  hukum dasar mushafahah dengan orang yang bukan mahram adalah haram. Keharaman ini di maksudkan untuk menutup pintu fitnah dan kerusakan atau sadd al-dzari’ah. Karena jika zina diharamkan oleh Allah, maka hal-hal yang dapat menyebabkan perzinaan terjadi menjadi haram hukumnya. Demikian juga halnya dengan mushafahah. Namun tidak pada semua kasus berjabat tangan dengan orang yang bukan mahram dihukumi haram. karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ada orang-orang tertentu yang dibolehkan bagi kita untuk berjabat tangan dengannya.
Demikian pula jika terjadi hal sebagai mana yang disebutkan oleh al-Qardhawi seperti adanya kunjungan kerabat yang sudah lama tidak bertemu, sehingga ia membolehkan berjabat tangan. Maka dalam hal ini penulis lebih cenderung kepada kehati-hatian, yaitu dengan menggunakan alas tangan atau sebagainya sehingga tidak lansung mengenai kulit tangan.
Wallahu a’lam.

Mengenal

Kamu pasti tahu kata yang satu ini.
Ia bagaikan ruh yang mengisi sebuah lubang kecil di hati.

Cinta, sebuah kata yang sarat akan makna.
Bagaikan cahaya, namun kadang ia juga mampu mendatangkan kegelapan.

Bagaikan angin dan udara, namun kadang ia harus membawa serta petir dan halilntar yang menyambar.

Saat mata terbuka, bahkan sebelumnya kita telah merasakan cinta.

Meski secara tidak sadar, sungguh ia ada.

Bagaimana mengenal wujudnya, hal itu yang diberikan oleh waktu kepada kita.

Kamis, 05 Desember 2013

Hukum dan Kekuasaan

 Hukum dan Kekuasaan Di Dalam Islam
Pada praktek kehidupan bernegara di Indonesia, kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah, merupakan kekuasaan yang bersumber dari kekuatan, dimana untuk memperoleh kekuasaan ini diperlukan kekuatan untuk memenagkan persaingan antara kelompok.
Di dalam teori mengenai sumber kekuasaan, disebutkan bahwa kekuasaan yang diperoleh melalui kekuatan inilah yang memegang kendali dalma menetapkan dan membuat hukum.[1]
Namun jika dilihat kembali, kekuasaan yang diperoleh oleh pemerintah saat ini tidak sepenuhnya bersumber dari kekuatan, tetapi juga melalui perjanjian masyarakat, sebagaimana yang disebutkan di dalam teori kontrak sosial. Hal ini dikarenakan terpilihnya orang-orang yang menjabat sebagai pemerintah saat ini merupakan hasil dari keinginan rakyat. Rakyat dalam hal ini memberikan kekuasaan kepada mereka untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan.
Hubungan antara hukum dan kekuasaan sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya tampak disini. Dimana kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah mencakup kekuasaan untuk menetapkan hukum. Sementara itu,  di dalam berbagai pendapat ulama mengenai pemerintahan ini, didapati bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk memastikan syari’at Islam dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat yang berada di abawah kekuasaanya. Sehingga dengan demikian, di dalam Islam itu sendiri, hukum atau syari’at harus didukung oleh kekuasaan yang dalam hal ini yaitu pemerintahan.
Sementara itu, menurut Ibnu Taimiyah, tujuan negara atau pemerintahan adalah berlakunya syari’at dan menjadikan syari’at sebagai kekuasaan tertinggi di negara tersebut (mewujudkan kepatuhan hanya kepada Allah). Dengan demikian, kekuasaan tertinggi adalah syari’at itu sendiri. Artinya hukum Islamlah yang memegang kekuasaan tertinggi di sebuah negara, bukan pemerintahan yang ada di dalam negara tersebut.[2]
Dari pendapat Ibnu Taimiyah di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan sesungguhnya tidak berada di tangan penguasa atau pemerintah selama syari’at dapat dijalankan dengan semestinya. Hal ini dikarenakan syari’at merupakan aturan yang memuat ketetapan Allah SWT dan ketentuan Rasulullah saw, baik berupa larangan maupun suruhan, yang meliput seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.[3]
Sehingga dengan demikian, apabila syari’at dijalankan dengan sebagai mana mestinya, pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara akan tunduk dan patuh kepada apa yang ditetapkan di dalam syari’at itu sendiri. Hal ini akan berdampak pada kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah di negara tersebut. Dimana apabila pemerintah yang berkuasa pada saat itu melanggar aturan atau syari’at maka rakyat dapat menurunkan mereka dari kursi pemerintahan dan kekuasaan mereka terhadap rakyat bisa dihapuskan dan diberikan kepada pihak lain sebagai pengganti pemerintah sebelumnya.
Dari pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut, terlihat bahwa kekuasaan dan hukum adalah dua hal yang saling melengkapi. Tanpa kekuasaan, pemerintah atau negara yang memaksakan berlakunya sebuah hukum akan berada dalam bahaya. Demikian juga sebaliknya, tanpa tegaknya hukum yang benar, kekuasaan pemerintahan dalam sebuah negara dapat menjadi sebuah kekuasaan yang tiranik.

Pengaruh Kekuasaan Terhadap Hukum
Sebagaimana telah dibahas di atas, hukum dan kekuasaan memiliki hubungan yang tidak dapat dinafikan, baik itu dalam pandangan umum maupun dalam kacamata Islam.
Islam memandang hukum yang dihasilkan oleh manusia itu benar sejauh tidak bertentangan dengan aturan Allah. Kekuasaan legislatif yang dipegang oleh manusia harus tunduk pada hukum Allah. Ini artinya, kekuaasaan dan hukum di dalam Islam harus tetap berada di dalam koridor yang telah Allah tentukan.
Sementara itu, kekuasaan legislatif atau pembuat hukum di dalam sebuah negara yang berasaskan demokrasi seperti Indonesia -dengan demokrasi Pancasilanya- diperoleh dari pelimpahan kekuasaan oleh rakyat kepada sekelompok orang yang telah dipilih melalui pemilu dengan payung hukum UUD 1945.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh para legislator berada dibawah kekuasaan rakyat sebagai pelimpah kekuasaan. Sehingga konsekuensi logisnya adalah keterbatasan legislator dalam menelurkan hukum, dimana mereka tidak dapat sewenang-wenang mengundang-undangkan atau mengesahkan sebuah rancangan undang-undang apabila isinya bertentangan dengan kehendak rakyat secara umum. Namun hal ini hanya akan terjadi jika kondisi normal, dimana pemegang kekuasaan negara memiliki sifat amanah dan adil dalam menjalankan tugasnya.
Santi Indriani mengutip  tulisan Mahfud yang menyebutkan ada dua karakter produk hukum yang merupakan refleksi dari pemegang kekuasaan yaitu:
1.        Produk hukum responsif atau populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat, dan;
2.        Produk hukum konservatif/elite merupakan produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara.
Kondisi yang terjadi saat ini adalah, kekuasaan legislatif mempunyai peranan yang sangat dominan dalam menentukan corak dan karakter hukum yang ada dinegara kita yang menggambarkan keinginan pemerintah, bukan keinginan rakyat banyak.[4]
Salah satu usaha agar produk hukum yang dihasilkan oleh kekuasaan legislatif mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat adalah dengan merubah paradigma dan jalan berfikir para wakil rakyat yang duduk di kursi legislatif. Menyadarkan mereka bahwa kekuasaan yang mereka miliki saat ini adalah pelimpahan dari rakyat yang telah memilihnya dan mereka tidak hanya bertanggung jawab kepada rakyat tetapi juga kepada Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di alam semesta.



[1] Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet. ke-4, h. 264.
[2] http://www.gutenberg.org

[3] Mohammad Daud Ali, op. cit.,  h. 45
[4] Jurnal Hukum, Santi Indriani, Hukum dan Kekuasaan dalam Implementasinya, Volume 3, No. 6, Desember 2010, h.  86.