Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 Februari 2015

Masalah kita
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Seorang saudaraku sedang terpuruk dalam  lubang yang sama, yang sebelumnya ia telah beberapa kali keluar darinya. Namun ternyata kali ini ia jatuh kembali. Berkalli-kali ia jatuh dan berkali-kali pula ia berusaha keluar darinya. Namun disaat menemui jalan yang sama, ia terus jatuh ke dalam lubang yang sama pula.
Apa yang salah darinya, hingga dia bisa jatuh berkali-kali ke dalam lubang yang sama? Mungkinkah karena dosa-dosa yang telah ia lakukan? Sehingga kegelapan dosa-dosa itu membutakan matanya. Membawanya kembali masuk ke dalam lubang yang sama. Sungguh menyedihkan bila saya melihatnya. Hatinya sungguh ingin dan mengharapkan cahaya, ini bukanlah angan-angan atau anggapan saya karena sungguh terlihat dari usahanya untuk memperbaiki diri.
Apa yang salah darinya, hingga ia dibutakan oleh kegelapan dosa-dosa yang bila ia bersedia meneliti jalan yang pernah ia lalui dengan baik, ia mampu membaca dimana letak lubang itu dan tidak jatuh kembali ke dalamnya. Karena sungguh, ia adalah seorang manusia yang selalu ingin belajar dalam menjalani kehidupan ini. Ini bukan sekedar penilaian saya, ini tampak dari usahanya dalam memahami masalah-masalah yang terus muncul berganti di hadapannya.
Kini ia jatuh kembali ke dalam lubang yang sama, dan sedang berusaha kembali keluar dengan tenaga yang sudah banyak terkuras karena panjangnya perjalanan. Namun satu hal yang patut diberikan perhatian, meskipun telah berkali-kali jatuh pada lubang yang sama, ia tidak pernah putus asa dari pertolongan dan ampunan Tuhannya. Ia yakin Tuhannya selalu memperhatikannya dan mengawasinya, menjaganya dan melindunginya, menolongnya dan menganpuninya.
Ini adalah kisah seorang teman saya yang sangat saya sayangi, namanya menjadi ingatan sementara wajah dan sikapnya menjadi kerinduan. Ia adalah seorang teman yang baik hati, ramah dan mudah berteman, pehatian dan penyayang. Karena sifatnya banyak orang yang suka, tidak sedikit pula yang benci dan ada pula yang kecewa.
Perjalanan hidupnya akan menjadi pelajaran bila ia mampu menuliskannya pada lembaran buku. Menjadi suluh yang memberikan sedikit cahaya pembelajaran dalam menapaki jalan yang kekurangan cahaya. Menjadi tongkat yang memberikan sedikit kekuatan pijakan dalam melangkahi jenjang-jenjang kehidupan ini.
Menyudutkannya dan menghukumnya atas kesalahannya yang tidak disengaja bukanlah hal yang seharusnya kita lakukan, karena dalam kesadarannya ia tidak pernah ingin kembali memasukkan kakinya ke dalam lubang yang sama. Ia melakukannya dalam kegelapan, dalam ketidak sadaran yang menempa diri. Yang seharusnya kita lakukan adalah dengan memberikan tangan untuk membantunya melangkah, memimpinnya, menunjukinya jalan yang dapat menghindarkannya dari lubang yang sama.
Demikian seharusnya kita bila menemukan seorang teman yang memiliki masalah dengan lubang di jalan kehiduapnnya. Ini bukan hanya maslah ia pribadi, ini adalah masalah kita semua. Kemudian bagaimana kita mengatasinya, kembali kepada kita semua. Akankah kita membiarkannya jatuh kembali ke dalam lubang yang sama? Ataukah kita berusaha membantunya melewati jalan itu hingga ia dapat selamat dari lubang di jalannya?

Dan Allah lebih mengetahui.

Selasa, 01 Juli 2014

 Bismillah
Alhamdulillah, Allah mempertemukan kita dengan bulan yang penuh berkah, bulan Ramadhan, dan hal menyenangkan dari bulan Ramadhan selain limpahan pahala bagi setiap amalan yang dikerjakan pada tiap detiknya, kemenangan di bulan syawal akan selalu menunggu untuk didatangi.
Tapi tidak manusia jika bisa hidup tanpa masalah, bahkan di bulan yang penuh kegembiraanpun ada kecemasan-kecemasan yang menggelayut di dalam hati.
Bulan syawal, bulan di mana setiap muslim kanbergembira, saling mengunjungi dan bermaaf-maafan. Sangat indah, lalu apa masalahnya yang membuat cemas?
Bersalaman, itu masalahnya. Masalah bersalaman ini sudah banyak di dikaji oleh para ulama, mau sunni, syi’ah, bahkan Hizb al-Tahrir sekalipun.
Bersalaman yang dalam bahasa arabnya adalah mushafahah, yaitu memegang tangan dengan tangan sebagaimana yang ditulis oleh Doktor Hisam al-Din di dalam tulisannya yang berjudul al-Adillat al-Syari’ah ‘ala Tahrim Mushafahat al-Marah al-Ajnabiyah. Selain itu, beliau juga mengutip beberapa pengertian lain yang disebutkan oleh beberapa ahli bahasa, seperti  Al-Jauhari, Al-Fiwami dan Ibn Mandzur dalam Lisan al-Arabnya. Yang pada intinya,  mushafahah atau berjabat tangan adalah membuka dan melebarkan tangan kepada tangan orang lain kemudian memegang atau menjabatnya.
Mengenai hukum berjabat tangan dengan orang-orang yang bukan mahram, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor Hisam al-Din bahwa para ulama sunni yang tergabung dalam mazhab Hanafiyah, Malikiyah, syafi’iyah dan Hanabilah (pengikut imam Ahmad Ibn Hambal) menyatakan haram dengan berbagai dalil baik dari al-Qur’an maupun hadits.
Misalnya Imam al-Nawawi yang berasal dari Mazhab Syafi’iyah berkata : ....bahwasanya suara perempuan tidak termasuk aurat dan dilarang menyentuh kulit perempuan ajnabi (bukan mahram) melainkan karena alasan darurat seperti dalam pengobatan.
Demikian juga ulama kontemporer seperti Nashr al-Din al-Albani yang menggunakan hadits yang di riwayatkan oleh al-Tabrani dan al-Baihaqi, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi saw: “sesugguhnya ditusukkan kepala seseorang di antara kamu dengan jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”.
Demikian pula Wahbah al-Zuhaili yang menggunakan sabda Nabi saw: “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan perempuan”, sebagai dalil. Begitu pula Muhammad ‘Abd al-‘Aziz ‘Amru dan Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi
Adapun Yusuf al-Qardhawi, di dalam bukunya Fatawi Mu’ashirah, pada awal pembahasannya, ia menuliskan bahwa ada dua hal yang tidak diperselisihkan oleh para ulama, yaitu mengenai keharaman bersalaman apabila disertai  dengan  syahwat  dan  taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita, atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya  fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan ini diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju  kerusakan  itu  adalah wajib. Yang kedua yaitu adanya kemurahan  (diperbolehkan)  berjabat  tangan  dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil  yang  belum  mempunyai syahwat  terhadap  laki-laki,  karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Kemudian al-Qardhawi menuliskan bahwa mayoritas ulama yang berasal dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka yang menyatakan berjabat tangan yang tidak disertai dengan syahwat hukumnya haram berdalil dengan alasan menutup pintu fitnah dan kerusakan atau sadd al-dzari’ah dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat bergerak, atau karena takut fitnah bila telah tanpak tanda-tandanya.
Setelah memperhatikan riwayat-riwayat mengenai sikap nabi dan para sahabat yang berkaitan dengan bermushafahah, al-Qardhawi menyimpulkan bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) yang aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapa berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Al-Qardhawi menyebutkan dua hal yang perlu ditekankan: Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah - meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Demikian pula berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab dengan mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Al-Qardhawi mengakhiri tulisannya dengan anjuran yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah - yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Dari tulisan al-Qardhawi, dapat dipahamai bahwa dalam hal ini, ia sangat berhati-hati dalam memutuskan hukum berjabat tangan. Karena dia dan kita semua sama-sama megetahui bahwa berjabatan tangan telah menjadi kebiasaan di antara manusia, demikian pula di dalam masyarakat kita. Berjabat tangan telah menjadi tradisi dan dianggap sebagai sebuah cara menghormati dan memberikan sambutan baik terhadap orang lain.
Tradisi ini telah melekat sekian lama di dalam kehidupan bermasyarakat di dalam umat ini. Bahkan ketika seseorang yang tidak menerima atau menolak jabatan tangan dari orang lain, maka ia akan dianggap tidak mempunyai adab dan etika sopan santun dalam bergaul.
Di sisi lain, kita mengetahui bahwa Islam sendiri adalah agama yang penuh dengan akhlak dan etika yang mulia, yang sangat menjaga kehormatan dan kesucian manusia, baik jasad maupun ruh dan jiwanya. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah sikap yang paling utama dalam hal ini.
Bagi penulis, sesungguhnya  hukum dasar mushafahah dengan orang yang bukan mahram adalah haram. Keharaman ini di maksudkan untuk menutup pintu fitnah dan kerusakan atau sadd al-dzari’ah. Karena jika zina diharamkan oleh Allah, maka hal-hal yang dapat menyebabkan perzinaan terjadi menjadi haram hukumnya. Demikian juga halnya dengan mushafahah. Namun tidak pada semua kasus berjabat tangan dengan orang yang bukan mahram dihukumi haram. karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ada orang-orang tertentu yang dibolehkan bagi kita untuk berjabat tangan dengannya.
Demikian pula jika terjadi hal sebagai mana yang disebutkan oleh al-Qardhawi seperti adanya kunjungan kerabat yang sudah lama tidak bertemu, sehingga ia membolehkan berjabat tangan. Maka dalam hal ini penulis lebih cenderung kepada kehati-hatian, yaitu dengan menggunakan alas tangan atau sebagainya sehingga tidak lansung mengenai kulit tangan.
Wallahu a’lam.

Rabu, 04 Desember 2013

Lokalisasi

Bismillah
Malam ini sebelum tidur kusempatkan menulis apa yang ada dalam benakku saat ini. Teringat diskusi panjang kami mengenai topik hangat di beberapa waktu lalu saat training kepemimpinan di surabaya. Pembahasan yang didiskusikan saat adalah masalah pemanfaatan teknologi informasi pada kawasan lokalisasi yang pada akhirnya menjurus kepada masalah keberadaan lokalisasi itu sendiri.
Banyak yang setuju, namun ada juga yang tidak menyetujui dan salah satunya adalah aku. Tidak hanya dalam forum diskusi, dalam kelompok diskusi pun aku menjadi minoritas yang keras membantah keberadaan lokalisasi. Berbagai alasan dikemukakan oleh para peserta yang menyetujui keberadaan lokalisasi, mulai dari sisi ekonomi dengan mengatakan akan menambah pendapatan masyarakat, hingga alasan sosial dengan mengatakan bahwa lokalisasi dapat mencegah tersebarnya pelacur di tiap sudut kota.
Satu hal yang ingin ku sampaikan disini. Sebagai seorang kader KAMMI yang sama-sama berusaha mewujudkan tujuan “mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami”, kita harus bersikap tegas terhadap kebatilan yang jelas-jelas salah dimata Islam. Bukan sebaliknya, loyo dan lemah hanya dikarenakan alasan perekonomian masyarakat.
Membahas masalah lokalisasi di sebuah daerah di salah satu bagian negara  Indonesia memang tidak cukup hanya dengan diskusi beberapa jam saja, apatah lagi seluruh daerah yang menjadi dan dijadikan kawasan prostitusi. Diperlukan penelaahan yang tajam dan mendalam mengenai manfaat dan kerusakan yang ditimbulkannya.
Dalam sebuah kaidah, disebutkan bahwa “menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada mengambil manfaat”. Kita dapat menemukan kalimat ini dalam buku-buku hukum Islam. Oleh karena itu, hal yang harus ditemukan dan dipahami dalam masalah lokalisasi ini adalah manfaat dan kerusakan yang ditimbulkannya. Namun sebelum itu, harus kita perhatikan hukum yang diberikan oleh Allah terhadap perbuatan hubungan seksual antara perempuan dan laki-laki yang berada diluar ikatan pernikahan yang sah yang disebut dengan zina. Hukumnya adalah haram, hal ini dapat dipahami dari kalimat “dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS 17:32) dari sini dapat dilihat bagaimana Allah sangat mengantisipasi agar manusia menjauh dari perbuatan zina.
Dari hukum perbuatannya saja telah haram, lalu bagaimana dengan pengadaan fasilitas bagi manusia untuk dapat melakukan perzinaan dengan mudah dan tanpa dihalang-halangi? Tentu saja jelas hukumnya juga haram sebagaimana jelasnya keharaman menjual minuman beralkohol, meski si penjual tidak meminumnya, namun ia telah menyediakan kemudahan bagi orang lain untuk mendapatkan minuman tersebut.
Lalu bagaimana dengan pemanfaatan teknologi Informasi di daerah lokalisasi? Jawabannya ada pada sebuah kaidah fiqh yang berbunyi ” Apabila berkumpul yang halal dengan yang haram maka hukumnya menjadi haram”. Maksudnya, meskipun pemanfaatan teknologi informasi adalah sebuah hal yang halal, namun dikarenakan haramnya prbuatan zina dan pengadaan kawasan lokalisasi maka hukum pemanfaatan teknologi informasi di daerah lokalisasi menjadi haram.
Kembali kepada masalah pengadaan lokalisasi, yang menjadi sebuah PR bagi kita semua yang akan mewarisi negeri ini dengan seluruh permasalahannya, penanganan dan penyelesaian msalah lokalisasi tidak dapat dilakukan hanya dengan pembubaran dan pengalih fungsian daerah lokalisasi saja karena hal itu masih sangat parsial. Diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh dan tidak separuh-separuh. Segala sisi harus dikaji, mulai dari perempuan-perempuan penyedia jasa seks, pelanggan, masyarakat sekitar, aturan hukum yang jelas, hingga hukuman yang diberikan kepada pelaku zina, kesemuanya harus dapat menutup pintu bagi perzinaan hingga tidak ada celah bagi manusia untuk dapat melakukannya atau bahkan mendekatinya.
Prostitusi adalah sebuah titik kecil masalah yang ada di negara kita ini, namun titik kecil tersebut sangat mempengaruhi kehidupan negara, karena perbuatan zina dapat merusak tatanan terkecil dalam sebuah negara, yaitu keluarga. Tidak hanya tubuh negara yang akan rusak, pandangan dunia terhadap negara ini juga akan rusak.  Maka, masihkan kita akan menyetujui pengadaan lokalisasi bagi para pelacur yang diberikan gelar kehormatan dengan “pekerja” seks komersial?